Wednesday, January 6, 2010

PT. INALUM MASIH LAYAKKAH DILANJUTKAN?

oleh : AMSAL NASUTION, B.Eng
Sesuai Master Of Agreement perjanjian kerjasama antara pemerintah Indonesia dan 6 perusahaan Jepang yang tergabung dalam PT. INALUM akan berakhir pada Oktober 2013. Perusahaan raksasa ini berdiri sejak 1976 dan mulai beroperasi 20 Januari 1982. Terdiri dari pembangkit listrik (PLTA) kapasitas 426 MW dan peleburan aluminium ( Smelter) kapasitas 225000 ton aluminium per tahun dengan total investasi 411 milyar yen (+/- Rp.50 trilyun). Pada saat perjanjian kerja sama berakhir maka perusahan tersebut telah beroperasi selama 30 tahun lebih.

Perusahaan ini bisa disebut perusahaan paling istimewa di Sumatera Utara, investasi yang sangat besar, sejarah panjang pendiriannya dan yang paling fantastis 24 tahun beroperasi perusahaan ini bukannya untung bahkan membukukan total kerugian 900 juta dollar. Tidak aneh banyak suara miring yang dialamatkan kepada pemerintah tentang lemahnya posisi Indonesia dalam Master of Agreement tersebut, ada yang telah melacurkan kepentingan bangsa ini.

Beberapa tahun terakhir menjelang berakhirnya kerjasama kinerja perusahaan semakin baik: perusahaan mulai mencatat laba, membayar pajak badan, melunasi hutang, diperkirakan pada saat serah terima nanti hutang telah lunas dan perusahaan akan mempunyai kas sebesar 628 juta dolar. Disamping itu, saat ini putra putri Indonesia sudah mampu menjalankan perusahaan ini baik dari sisi teknologi maupun manajemen.

Menurut rencana, 1 Nopember 2010 akan dilakukan pembicaraan antara pemerintah Indonesia dengan pihak Jepang untuk menentukan status kepemilikan perusahaan ini. Kita berharap pemerintah mampu menentukan pilihan terbaik untuk bangsa ini dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Untuk menentukan pilihan tentu saja harus didasari kajian yang mendalam, namun secara garis besar pilihan tersebut berkisar pada dua isu. Pertama, masalah kepemilikan apakah pemerintah akan mengambil alih dengan atau tanpa peran swasta. Kedua, apakah perusahaan tetap pada bisnis peleburan aluminium atau mengalihkannya menjadi pembangkit listrik.

Menurut hemat kami, dengan keterlibatan pihak swasta nasional masalah kepemilikan tidak begitu sulit diselesaikan. Bahkan Ir. Effendi Sirait, Ketua Otorita Asahan pernah menyatakan, dengan prediksi keuangan PT. Inalum tahun 2013, pemerintah tidak perlu lagi repot-repot untuk mencari dana men-take over saham Jepang dari tubuh PT Inalum.
Kami justru melihat masalah kedua sangat penting menjadi perhatian. Menurut kami, pengambil alihan perusahaan tersebut dan menjadikannya sebagai pembangkit listrik suatu opsi yang paling menguntungkan baik alasan historis maupun alasan kondisi kelistrikan di SUMUT.

Alasan historis
Tujuan utama proyek Asahan ini adalah memanfaatkan potensi sungai Asahan yang luar biasa untuk pembangkit listrik, bahkan usaha ini sudah dijajaki sejak masa kolonial Belanda. Akan halnya pabrik peleburan aluminium, hanya solusi sementara karena pada saat didirikan Sumatera Utara belum mampu mengkonsumsi listrik sebesar itu. Hal ini kelihatan dari strategi industri aluminium yang tidak rasional, bahan baku 100 % impor dan hasil produksi hampir semua diekspor. Singkatnya, industri aluminium ini hanya memanfaatkan listrik murah dari aliran sungai Asahan. tidak ada yang lain.

Alasan kondisi kelistrikan di Sumatera Utara.
Sejak tahun 2005 pemerintah melalui Keputusan Menteri ESDM no.479-12/43/600.2/2005 menyatakan Sumatera Utara sebagai daerah krisis penyediaan energi listrik. Krisis ini telah meluluh lantakkan industri di Sumatera Utara, baik UKM maupun industri besar. Perusahaan terpaksa mengurangi jam operasi atau menggunakan pembangkit sendiri yang sudah pasti membuat lonjakan biaya produksi. Akibatnya, investor lari dan pengangguran semakin meningkat. Upaya PLN sampai saat ini belum pernah terbukti bisa menyelesaikan krisis listrik, kecuali pada momen tertentu pada hari raya keagamaan.
Dari data PLN, daya mampu PLN saat ini 1300 MW( dengan keandalan yang terbukti tak andal),rencana pembangkit baru tahun-2010/2011 sebesar 804 MW, dan beberapa proyek lain setelah 2012 sebesar 644 MW, sehingga total daya tersedia tahun 2013 sebesar 2748 MW atau 2 kali kondisi saat ini. Pertanyaannya, apakah listrik dari Inalum masih dibutuhkan?.
Dari sisi kebutuhan akan listrik, dengan penduduk Sumatera Utara 14 juta jiwa dan rencana produksi PLN tahun 2009 sebesar 6111 GWH maka konsumsi listrik perkapita baru berkisar 436 KWH. Menurut data UNDP tahun 2002, konsumsi perkapita Thailand 1352 KWH, Malaysia 2474 KWH. Artinya, jika kita ingin menyamai Thailand saja di tahun 2002 yang lalu, kita butuh berkisar 3 kali pembangkit saat ini, atau jika ingin sama dengan Malaysia tahun 2002, kita butuh hampir 6 kali lipat. Artinya, kita tetap butuh pembangkit tambahan.
Kemudian dari sisi biaya, PLN Sumbagut saat ini menjual listrik dengan harga rata-rata Rp.633/KWH sementara biaya pokok penyediaan BPP (termasuk yang dikorupsi) sebesar Rp.1772/KWH. Artinya, subsidi yang sangat besar masih harus ditanggung pemerintah. Mahalnya BPP ini akibat dari ketidak efisienan/korupsi di tubuh PLN dan juga jenis pembangkit yang menggunakan energy primer yang mahal seperti HSD, MFO dll. Sesuatu yang tak layak dilakukan oleh perusahaan pembangkit yang waras. Dengan bergabungnya Inalum ke system pembangkit listrik Sumatera Utara dipastikan BPP PLN secara umum akan turun drastis.
Lalu apa justifikasi kita meninggalkan Smelter Aluminium? Bukankah tetap untung?. Sebagai ilustrasi, PT. Inalum dalam rentang tahun 2004 sampai 2009 telah memproduksi aluminium sebanyak 1488 ribu ton aluminium dengan perkiraan konsumsi listrik sebesar 21576 GWH ( dalam kurun yang sama PLN hanya menghasilkan 31025 GWH) hanya bisa menghasilkan laba bersih 683 juta dollar AS (sekitar Rp.6,4 trilyun). Jika listrik sebanyak itu dijual dengan harga subsidi PLN Rp.633/KWH, maka nilainya sekitar Rp.13,7 trilyun, jika dengan harga BPP Rp.1772/KWH nilainya menjadi Rp.38.2 trilyun. Dengan biaya produksi PLTA yang hanya berkisar Rp.100/KWH, maka biaya produksi hanya berkisar Rp.2 Trilyun. Artinya dibandingkan dengan kinerja PLN saat ini, perusahaan akan untung Rp.36 trilyun atau Rp. 6 trilyun per tahun. Sementara dari bisnis aluminium PT. Inalum hanya mampu meraup keuntungan semu sebesar 1 trilyun per tahun. Ancit nai amang naso mamboto.
Penutup, aliran sungai Asahan yang menyimpan potensi listrik yang luar biasa adalah anugerah Allah swt kepada rakyat Sumatera Utara. Tidak semua daerah memilikinya. Maka adalah suatu kewajaran jika rakyat Sumatera Utara mendapat manfaat yang besar dari karunia tersebut. Pihak-pihak yang menghalangi rakyat dalam mendapat manfaat tersebut baik penguasa maupun pengusaha adalah zalim, apalagi disaat jeritan panjang masyarakat Sumatera Utara akan krisis listrik belum usai. Pilihan paling bijak menurut kami adalah menutup Smelter PT. Inalum dan menggunakan PLTA-nya untuk menutupi kebutuhan listrik Sumatera Utara. Dengan itu pasokan listrik yang murah akan terjamin, industry akan tumbuh dan jutaan masyarakat akan mendapat pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya. Insya Allah. Wallohu a’lam bisshawab.
AN/H/07/12/10

No comments:

Post a Comment