Wednesday, September 22, 2010

FPKS Sesalkan DPRD Sumut Belum Punya Sikap Terkait Inalum

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) menyayangkan tindakan DPRD Sumut sebagai wakil rakyat yang belum mempunyai sikap atau masukan terkait pengambil alihan PT Inalum kepada pemerintah pusat.

Ketua FPKS DPRD Sumut, Hidayatullah,SE mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan sikap DPRD sumut yang terkesan tidak begitu peduli dengan proses pengambil alihan PT Inalum dari pemerintah Cina, karena buktinya sampai sekarang tidak ada sikap yang diajukan DPRD Sumut sebagai bentuk perwakilan yang menyampaikan aspirasi masyarakat dan keinginan masyarakat Sumut ke pemerintah pusat.

"Sampai sekarang DPRD Sumut belum punya sikap," ujarnya.

Seharusnya, meski DPRD sumut bukanlah sebagi eksekusi untuk memutuskan pengambil alihan PT Inalum tersebut. Namun karena PT Inalum berada di kawasan provinsi Sumut, maka seharunya sebagai wakil rakyat DPRD dapat memainkan perannya untuk menyampaikan saran/aspirasi yang diinginkan masyarkat ke pemerintah pusat. Sehingga kasus seperti persoalan bagi hasil PT Perkebunan yang terjadi saat ini tidak terulang kembali.

"Jangan seperti PTP, dulu waktu pembahasan tidak ada usulan yang disampaikan daerah, sekarang setelah ada peraturannya bru minta-minta bagi hasil. Jangan sampa sudah terlanjur baru kita kebakaran jenggot," ujarnya.

Jadi jika nantinya ada keputusan pusat yang tidak berpihak kepada Sumut, maka sangat wajar jika nantinya masyarakat marah kepada DPRD ini. Karena hal penting seperti ini tidak direspon cepat oleh anggota dewan yang ada.

Padahal tambah Hidayatullah,SE, pihaknya atas nama fraksi PKS pada 14 Juni lalu telah menyurati pimpinan dewan untuk mengusulkan pembentukan pansus yang akan membahas terkait keinginan masyarakat Sumut terhadap PT Inalum ini. Namun sayangnya tidak ada respon yang dilkukan. "kami tidak kecil hati jika tidak ditanggapi, tapi jika nanti masyarakat marah ke anggota dewan ini wajar," katanya.

Jika memang Sumut memiliki keinginan untuk penyertaan modal atau berkeinginan mengelola Inalum secara keseluruhan ini kan seharunya diperjuangkan ke pusat dengan persiapan yang matang. Sehingga pemerintah pusat dapat diyakini. "Makanya kami usulkan pansus ini, agar ada persiapan yang matang. namun melihat waktu yang ada sekarang, mungkin sudah terlambat untuk menyampaikan usulan dari daerah ke pemerintah pusat," terangnya.

Jumat, 17/9/2010/Ukhti

DPRD Sumut Belum Bekerja Sesuai Sistem

DPRD Sumut sampai sekarang belum bekerja sesuai dengan sistem yang ada, termasuk dalam hal penyusunan APBD Sumut 2011 yang sedang dalam proses pembahasan saat ini.

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPRD Sumut, Hidayatullah,SE mengatakan sampai sat ini, anggota dewan belum bekerja sesuai dengan sistem yang ada, termasuk dalam hal pembahasan APBD Sumut 2011 ini. Buktinya, jadwal tahapan-tahapan yang dilalui untuk pembahasan APBD Sumut berbeda tiap tahunnya.

"Sistem DPRD sumut yang ada saat ini belum jalan, buktinya saat ini pembahasan APBD Sumut masih ditingkat internal. Padahal awal September tahun lalu, APBD Sumut telah disahkan. Sehingga Pemprovsu bisa mendapatkan penghargaan sebagai provinsi kedua tercepat yang melakukan pengesahan APBD," ujarnya.

Padahal seharunya jika DPRD Sumut bekerja sesui sistem dan mampu menghasilkan prestasi seperti tahun lalu, hal itu bisa dipertahankan seterusnya. namun karena sistem belum dijalankan dengn baik maka hal itu tidk dapat berlaku.

Awal September lalu sebelum dilakukan pelantikan anggota DPRD Sumut periode 2009 -2014, APBD Sumut 2010 sudah disahkan. Tapi sekarang kan belum. Sehingga kesan bahwa pembahasan APBD Sumut 2010 oleh anggota DPRD Sumut periode lalu sengaja dikebut karena untuk mengejar faktor tertentu diakhir masa jabatan semkin kuat. "Karena jika sistem yang ada benar dijalankan, maka seharusnya tahun ini pembahasan APBD Sumut juga sudah selesai," ujarnya.

Namun nyatanya, saat ini pembahasan APBD Sumut 2011 masih ditingkat internal Badan Anggaran (banggar) dan masih harus melalui beberapa tahapan lagi seperti pengembalian KUAP PPAS yang sudah disahkan banggar kembali ke Pemprovsu, membuat nota keuangan, penyampaian melalui rapat paripurna dan beberapa hal lainnya. Sehingga realisasi paling cepat APBD Sumut selesai pada akhir Oktober mendatang. "Ini bukti bahwa perencanaan DPRD disusun masih asal-asaln dan belum sesuai sistem," katanya.
Bukti lainnya sistem belum dijalankan anggota DPRD Sumut dengan baik yaitu anggota dewan tidak pernah mempermasalahkan buku besar APBD sumut 2010 yang sampai sekarang tidak ada, karena yang ada hanya rancangan.

Padahal jika dikumen rujukan resminya tidak ada, maka ketidak tertiban ini membuka peluang bagi oknum - oknum tertentu untuk bermain. "Tidak perlu buku besar yang kamu bertanyakan dulu, cukup KUA PPAS yang resmi saja yaitu yang disepakti bersama dan diparaf oleh yang berhak dalam hal ini banggar. Karena nyatanya untuk KUA PPAS 2010 lalu saja, yang ada hanya penandatanggannya saja tanpa dilengkapi isi dokumennya pada saat penandatanganan," papar anggota Komisi C DPRD Sumut ini.

Jadi jika nantinya tandatangan yang disahkan tersebut ditempel dengan dokumen mana saja, maka tidak dapat dibuktikan bahwa dokumen itu asli apa palsu. Sehingga apapun yang datang dari Pemprovsu nantinya yang menyatakan bahwa itu adalah KUAP PPAS APBD Sumut 2010 maka tidak bisa dibantahkan.

"Mau nggak mau, apapun yang disampaikan harus diakui. Karena kami nggak tahu aslinya ada di mana," katanya.

Seharusnya kedepan ini jadi pelajaran bagi anggota DPRD Sumut untuk bekerja sesuai dengan sistem dan mengikuti aturan yang ada.

Jumat, 17/9/2010/Ukhti

Kontribusi PAD Bank Sumut Dipertanyakan

Sebagai salah satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Bank sumut didesak untuk memberikan kontribusi langsung terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Sehingga mampu memberikan manfaat kepada masyarakat melalui peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumut.

Anggota Komisi C DPRD Sumut, Hidayatullah,SE mengatakan jika dinilai dengan standar umum yang ada, dilihat dari kualitas kondisi Bank sumut memang sehat. Bahkan lebih baik dari kondisi rata-rata bank lainnya. Namun karena posisi Bank Sumut pada saat bersamaan tidak hanya sebatas sebagai bank saja, tapi juga sebagai salah satu BUMD dimana ada penyertaan modal yang diberikan Pemerintah Provinsi Sumut (Pemprovsu). Maka wajar jika ada harapan besar terhadap Bank sumut terutama untuk meningkatkan jumlah PAD Sumut.

"Bank Sumut harus lebih beri dampak kepada masyarakat Sumut, tidak hanya untuk segi ekonomi tapi harus ada kontribusi PAD," ujarnya pada saat rapat dengar pendapat antara Komisi C DPRD Sumut dan PT Bank Sumut, di Gedung DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol Medan, Selasa (21/9).

Karena meski selama ini kualitas Bank Sumut sebagai bank sudah sehat dan tidak jauh berbeda dengan bank-bank umum lainya. Namun sebagai BUMD belum memberikan kontribusi atau keuntungan untuk Sumut. Padahal pembentukan BUMD ini bertujuan untuk meningkatkan PAD, karena kedepan Sumut tidak hanya dapat berharap dari pajak kendaraan bermotor saja.

"Jika tidak ada kontribusi langsung yang bisa diberikan dalam bentuk PAD, maka bisa dibilang kami lebih respek dengan bank umum lainnya dibandingkan Bank Sumut. Karena kalau Bank sumut ada penyertaan modal yang harus dikeluarkan, sedangkan bank umum lainnya tidak ada. Tapi kontribusi untuk Sumut sama saja, hanya meningkatkan kondisi
perekonomian saja tidak memberikan efek langsung untuk peningkatan PAD," terangnya.

Untuk itu, perlu ada keseimbangan atara penyertaan modal yang diharapkan dari Pemprovsu dengan kontribusi yang mampu diberikan Bank sumut ke PAD. Jika tidak, maka perlu dilakukan evaluasi apakah kehadiran Bank Sumut ini memberikan keuntungan untuk PAD atau hanya membebankan APBD Sumut.

"Kami dari Komisi C ingin meminta kejelasan kapan Bank sumut ini mampu beri kontribusi langsung ke PAD. Karena BUMD yang ada harus memberikan kontribusi jelas ke PAD," katanya.

Politisi dari FPKS ini juga menambahkan bahwa pihaknya sangat setuju jika Bank sumut ingin terus berkembang besar dengan meminta tambahan modal, namun jangan lupa dengan perannya sebagai BUMD. Selama ini Bank sumut masih gagal memberikan PAD, seharusnya jika mengambil uang rakyat melalui APBD maka harus jelas kapan mau dikembalikan

"Rencana regional campion yang diwacanakan Bank sumut memang bagus untuk meningkatkan pertumbuhan bank, tapi sepertinya ini malah juga meminta tambahan modal bukan menyumbang PAD," katanya.

Menanggapi hal ini, Direktur Utama PT Bank Sumut, Gus Irawan Pasaribu membantah jika pihaknya tidak memberikan kontribusi ke PAD Sumut. Karena berdasarkan pembukuan 2005 - 2008 telah ada pembagian deviden yang dilakukan sebesar Rp 293 miliar dan ditahun 2009 sebesar Rp 295 miliar yang masuk dalam PAD sebagai sumber deviden saham bank sumut.

Namun deviden tersebut memang kemudian dikelurkan lagi untuk digunakan sebagi penambahan modal saham di Bank Sumut. "Kami ada berikan kontribusi ke PAD, namun memang tidak langsung untuk masyarakat. Karena digunakan untuk penambahan modal guna meningkatkan pertumbuhan Bank Sumut. Tapi kan jika dibandingkan BUMD lainnya, mana ada yang bisa memberikan PAD besar ke Pemprovsu selain Bank Sumut," terangnya.

Sebagai Dirut, ujar Gus Irawan, dirinya hanya bertugas untuk membawa Bank Sumut ini tumbuh berkembang dengan peningkatan kinerja terbaik, yaitu dengan peningkatan laba, dan volume usaha. Jadi bukan memikirkan apakah kontribusi yang diberikan Bank sumut ini langsung untuk ke masyarakat atau tidak.

"Sebagai perbakkan kondisi kita jauh diatas rata-rata perbankan yang ada. Ini tugas saya sebagi manajemen pengelola Bank Sumut. Jadi walaupun kami tidak langsung beri kontribusi, tetap ada yang kami berikan untuk masyarakat Sumut," ujarnya.

Selasa, 21/9/2010/Ukhti

Tuesday, September 21, 2010

DPRD Sumut Desak Usut Kasus Kebocoran Pipa Pertamina

DPRD sumut mendesak agar pihak keamanan khususnya kepolisian dapat segera mengusut tuntas kasus kebocoran minyak pipa PT.Pertamina yang sudah berlangsung tahunan tersebut. Karena kerugiaan yang dialami negara mencapai ratusan milir akibat hal tersebut.

Wakil Ketua Komisi B DPRD Sumut, Muhammad Nasir mengatakan, berdasarkan pengakuan yang disampaikan DM PT.Pertamian dan pantauan yng dilakukan pihaknya ke lapangan, maraknya pencurian minyak melalui pipa-pipa milik PT.Pertamina seperti di kawasan daerah Belawan telah merugikan negara ratusan miliar pertahunnya.

Namun anehnya, meski telah berlangsung lama pelaku intelektual yang melakukan pencurian ini tidak pernah tertangkap. Sehingga adanya indikasi bahwa ada oknum pejabat baik dari kalangan PT.Pertamina maupun keamanan sendiri yang terlibat.

"Kami sangat menyesalkan kasus yng sudah berlangsung tahunan dan merugikan negara miliaran rupiah pertahun ini tidak bisa diungkap dan ditanggani secar serius," ujarnya.

Untuk itu, pihaknya mendesak agar kasus pencurian ini dapat ditanggani secara serius. Kenapa kasus pencurian seperti di Bank CIMB Niaga yang berlangsung beberapa waktu lalu bisa ditangani secara serius, namun kasus pencurian ratusan miliar seperti ini tidak bisa. "Kami harap proses hukum terkait pencurian ini dapat terus dilakukan dan mengungkap siapa pelakunya," katanya.

Selain itu, pihaknya berharap jajaran PT.Pertamina juga tidak takut untuk menyampaikan informasi terkait pencurian ini. Karena jika hal ini ditutupi dari publik, maka kecurigaan masyarakat bahwa pihak pertamina terlibat semakin kuat. "Kami harap semua pihak memiliki tanggungjawab moral untuk mengungkap kasus ini," katanya.

Anggota FPKS DPRD Sumut ini juga menambahkan, untuk membahas permasalahan kebocoran minyak ini secara serius. Pihaknya juga akan kembali melakukan rapat dengar pendapat gabungan antara komisi B dan A DPRD Sumut serta pihak terkait lainnya seperti Kapolda, dan Pangdam pada 5 Oktober mendatang. Dimana hasil pembahasan ini nantinya selain akan dibentuk Panitia Khusus (Pansus), juga akan ada kesimpulan yang disampaikan ke pemerintah pusat.

Dari hasil pantauan yang dilakukan pihaknya ke lapangan seperti di daerah Bagan Deli, pengawasan yang dilakukan untuk mengmankan pipa-pipa yang menyalurkan minyak milik PT Pertamina tersebut juga tidak maksimal, sehingga memudahkan pelaku-pelaku yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan pencurian. "Pengakuan PT Pertamina memang ada pengamanan dan pengawasan, tapi sangat tidak memadai," ujarnya.

Ditambahkan Ketua FPKS DPRD Sumut, Hidayatullah,SE, besarnya jumlah kebocoran akibat pencurian ini mungkin juga menjadi salah satu penyebab program subsidi pemerintah cepat habis. Untuk itu perlu diusut secara serius dan tuntas.

"Ini baru di tingkat kawasan Medan saja yang kerugiannya hingga miliaran rupiah, sedangkan pipa penyaluran minyak PT Pertamina ini masih banyak dikawasan lainnya dan tidak menutup kemungkinan kebocoran juga terjadi. Makanya harus diusut secara serius jangan sampai merugikan negara lebih besar," ujarnya.

Selasa, 21/9/2010/Ukhti

Tuesday, April 27, 2010

Selesaikan Kasus Pengangkatan Honorer Guru di Sumut DPRD Sumut Desak Pengesahan RPP

Untuk menyelesaikan kasus pengangkatan tenaga honorer guru baik yang dibiayai APBD/APBN maupun honorer non APBD/APBN menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumut melalui Komisi A akan mendesak DPR RI untuk segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur tentang proses pengangkatan tersebut, yang saat ini sedang dibahas oleh Komisi II DPR RI.

Demikian disampaikan anggota Komisi A DPRD Sumut, Hj. Nur Azizah Tambunan, S.S, usai rapat dengar pendapat antara Komisi A DPRD Sumut, BKD Sumut, dan Forum Komunikasi Tenaga Honorer Sekolah Negeri (FKTHSN) SKPD Sumut di Gedung DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol Medan, Selasa (20/4).

Menurut Hj. Nur Azizah Tambunan, S.S, permasalahan belum diangkatnya sebagian besar guru honorer yang memiliki Surat Keputusan (SK) menjadi tenaga honorer sejak 2005 ini disebabkan karena minimnya informasi yang disampaikan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) kabupaten/kota terkait syarat-sayarat untuk diangkat menjadi CPNS. Sehingga mereka tidak masuk dalam proses pendataan yang dilakukan pemerintah pada 2005 - 2006 lalu sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS.

"Rata-rata dari mereka mengaku tidak mengetahui adanya pendataan yang dilakukan pemerintah terhadap para honorer yang telah memiliki SK pada 2005 lalu. Karena informasi dari BKD kabupaten/kota juga minim, jadi syarat-syarat yang harus dilengkapi juga tidak mereka ketahui," ujarnya.

Selain itu, BKD kabupaten/kota juga tidak menginformasikan bahwa berdasarkan PP tersebut yang diangkat menjadi PNS hanya tenaga honorer yang dibiayai oleh APBD/APBN. Sedangkan diluar itu tidak ada pengangkatan. "Makanya tenaga honorer yang mayoritas non APBD/APBN yang telah bekerja puluhan tahun ini merasa didiskriminasikan. Karena guru bantu yang baru mengabdi 3 tahun saja sudah diangkat," katanya.

Untuk itu, para tenaga guru honorer ini meminta agar Komisi A DPRD Sumut dan BKD Pemprovsu dapat mendesak Komisi II DPR RI untuk segera mengesahkan RPP yang mengakomodir aspirasi tenaga honorer yang ingin diangkat menjadi PNS tersebut.
"Jadi rencananya bulan depan kami bersama BKD Pemprovsu akan ke DPR RI dan Menteri Aparatur Negara untuk membahas masalah ini. Dan menekankan agar RPP segera disahkan dan isinya juga harus mengakomodir kepentingan para honorer ini. Khususnya yang dibiayai non APBD/APBN," ucapnya.

Selain minimnya informasi yang disampaikan BKD kabupaten/kota terhadap tenaga honorer ini. Pihaknya juga sangat menyayangkan sikap BKD Provinsi dalam melakukan pengawasan. "Seharusnya BKD Provinsi dapat lebih tegas melakukan pengawasan terhadap kabupaten/kota. Sehingga tidak ada yang dirugikan, karena kenyataannya BKD Provinsi juga tiodak memiliki data pasti berapa sebenarnya jumlah guru honorer di Sumut yang belum diangkat," katanya.

Ditambahkan Nur azizah, seharusnya untuk menyelesaikan masalah pengangkatan tenaga honorer ini dapat diselesaikan tidak hanya dengan menunggu disahkannya RPP yang sedang dibahas sesuai dengan amanah PP Nomor 48/2005 Junto PP Nomor 43/2007 saja. Namun dapat dilakukan dengan menerapkan kebijakan kusus berupa memberi porsi bagi tenaga honorer agar dapat diterima dalam setiap proses pengangkatan CPNS tiap tahunnya yang dilakukan kabupaten/kota.

Sebelumnya, Ketua FKTHSN SKPD Sumut, Andi Subakti SAg meminta agar Komisi A DPRD sumut dapat mendesak pemerintah pusat untuk segera menyelesaikan pengangkatan guru honorer ini. Karena selain belum jelasnya nasib mereka, para guru honor ini juga semakin dipersulit dengan adanya penerapan sertifikasi yang ditetapkan oleh pemerintah.
"Karena sertifikasi mewajibkan setiap guru mengajar 24 jam, maka banyak guru-guru disekolah negeri yang berlomba - lomba untuk mengajar dan ini menyulitkan kami sebagai tenaga honorer," katanya.
Selasa, 20/4/2010/Ukhti

Tuesday, February 23, 2010

Minimnya Anggaran Sumber masalah Kesehatan Di Sumut

Walaupun telah ada Peraturan Daerah (Perda) Sumut Nomor 2/2008 tentang Sistem Kesehatan Provinsi yang menyatakan bahwa APBD provinsi maupun kabupaten/kota minimal mengalokasikan anggaran untuk kesehatan sebesar 15 persen. Namun nyatanya sumber permasalahan belum dapat teratasinya masalah kesehatan secara maksimal masih disebabkan karena minimnya jumlah anggaran yang ada.

Demikian disampaikan anggota Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumut, Timbas Tarigan, A.Md usai melakukan kunjungan kerja Komisi E DPRD Sumut ke Langkat dan Binjai pada 17 - 18 Februari, Sabtu (20/2).

Menurut Timbas Tarigan, A.Md, dari hasil laporan yang disampaikan pada saat kunjungan yang dilakukan Komisi E DPRD Sumut ke Langkat dan Binjai, terbukti bahwa minimnya jumlah anggaran masih menjadi sumber masalah yang menyebabkan pelayanan kesehatan di Sumut belum maksimal diberikan kepada masyarakat.

"Sampai sekarang, kami melihat bahwa belum ada singkronisasi antara visi-misi Gubsu untuk membuat rakyat tidak sakit dengan realisasi anggaran yang ada. Khawatirnya kalau ini tidak segera diatasai, maka visi-misi tersebut hanya sebatas ilusi saja," ujarnya.

Masalnya saja di Langkat, dengan daerah yang begitu luas. Anggaran yang dialokasikan untuk Dinas Kesehatan (Dinkes) hanya sebesar Rp 1,2 miliar pada APBD Langkat 2009, sehingga fasilitas kesehatan tidak dapat disediakan secara keseluruh di kecamatan yang ada. Padahal jarak antara satu daerah dengn daerah lainnya cukup luas.

"Malahan Rumah Sakit Umum (RSU) bukan berada di kabupaten Induk Stabat,
tapi malahan berada di Tanjung Pura," ucapnya.

Selain itu, fasilitas sumber daya manusia (SDM) maupun alat medis di RSU Tanjung Pura tersebut juga tidak memadai. Padahal telah masuk dalam kategori RSU kelas B. Misalnya saja, seperti tidak adanya dokter bedah di RSU Tanjung Pura tersebut, yang ada hanya dokter bedah yang sifatnya konsultasi (tidak tetap). Seharusnya sebagai RSU kelas B, salah satu syarat yang dimiliki adalah harus memiliki dokter bedah tetap.

"Jadi walaupun telah masuk sebagai RSU kelas B, tapi nyatanya juga belum memenuhi syarat. Ini dilaporkan karena minimnya jumlah dukungan anggaran baik dari APBD provinsi maupun kabupaten Langkat sendiri," ujarnya.

Belum lagi, dengan jumlah anggaran yang terbatas untuk kesehatan di Langkat juga berimbas pada minimnya jumlah honor yang dapat diberikan kepada tenaga medis kontrak yang ada di RSU tersebut, yaitu hanya Rp 500 ribu perbulan. "Kalau kesejahteraan mereka saja masih menyulitkan, bagaimana mereka bisa melayani pasien secar profesional," katanya.

Walaupun memang karena hanya ada satu RSU di Langkat, Dinkes mengatasinya dengan menyediakan layanan Puskesma 24 Jam. Namun karena jumlah anggaran yang minim maka jumlahnya terbatas, jadi juga tidak mampu melayani kesehatan masyarakat secara menyeluruh.

Tidak jauh berbeda, tambah Timbas Tarigan, A.Md, jumlah anggaran yang minim juga menjadi masalah untuk mengatasi persoalan kesehatan di Binjai, anggaran 2009 hanya sekitar Rp 1 miliar. Namun karena luas daerahnya yang tidak begitu luas, maka masalahnya tidak serumit di Langkat. Selain itu, RS swasta juga banyak, jadi bisa mengcover kebutuhan rumah sakit di Binjai

"Kalau di Binjai juga sangat diperlukan peningkatan kecakapan pelayanan kesehatan dan penambahan fasilitas. Ini jugakan perlu anggaran yang tidak sedikit," katanya.

Untuk itu, dengan berbagai masalah kesehatan yang ada. Maka sangat dibutuhkan perhatian yang lebih fokus dari pemerintah Kabupten/kota maupun Pemprovsu, khususnya Gubsu untuk mengatasi masalah minimnya jumlah anggaran ini. "Kita harus mampu meliht persoalan di Sumut ini secara lebih fokus, dan kami dari Komisi E juga akan terus berusaha untuk melakukan pengawasan dan perbaikan kesehatan. Terutama menyangkut jumlah alokasi anggaran di APBD Pemprovsu," paparnya.
Sabtu, 20/2/2010/Ukhti

Perhatian Pemprovsu Terhadap Rumah Sakit Haji Masih Minim

Perhatian Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) yang masih minim terhadap Rumah Sakit Haji Medan sangat disayangkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumut. Padahal sebagai rumah sakit yang bersifat yayasan tersebut, Ketua langsung dijabat oleh Gubernur Sumut (Gubsu) Syamsul Arifin secara eksopisio.

Demikian disampaikan anggota Komisi E DPRD Sumut, Bapak Timbas Tarigan, A.Md disela-sela rapat dengar pendapat antara Komisi E DPRD Sumut dengan Pengelola Rumah Sakit Haji Medan, di Gedung DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol Medan, Selasa (16/2).

Menurut Timbas Tarigan, A.Md, sebagai salah satu rumah sakit yang 70 persen lebih
melayani pasien Jamkesmas di Sumut, maka seharusnya perlu ada perhatian yang lebih besar. Khususnya dari segi anggaran. Karena selama ini, tidak ada sumber anggaran tetap yang dialokasikan untuk rumah sakit tersebut, baik yang berasal dari APBD sumut maupun sumber lainnya.

"Selama ini, pelayanan rumah sakit haji ini sudah cukup maksimal. Seharusnya Pemprovsu dan Gubsu sebagai Ketua yayasan dapat memberikan perhatian khusus, terutama soal pendanaan," ujarnya.

Selain itu, dari kondisi pelayan yang selama ini dapat dikatakan sudah baik padahal tidak ada sumber pendanaan yang tetap dan letaknya yang stategis. Seharusya dapat dijadikan peluang bagi Pemprovsu untuk menjadikan rumah sakit haji ini sebagai rumah sakit umum milik Pemprovsu.

"Sampai sekarangkan Sumut gak punya rumah sakit umum yang merupakan milik Pemprovsu. Jadi kenapa tidak Rumah Sakit Haji ini saja yang dapat dimanfaatkan secara maksimal. Karena dari empat rumah sakit haji yang ada di Indonesia, salah satunya yang di Surabaya juga telah diambil alih oleh Pemda setempat," terangnya.

Untuk itu, ujar Timbas Tarigan, A.Md. Komisi E DPRD Sumut akan segera melakukan pertemuan dengan pihak yayasan, pengelola Eumah Sakit Haji Medan, Kandepag, dan Dinas Kesehatan sumut untuk membahas masalah pendanaan ini. "Dalam waktu dekat kami akan lakukan pertemuan untuk membahas terkait anggaran ini," katanya.

Direktur Rumah Sakit Haji Medan, dr. H. MP Siregar, SKm meyatakan, sampai sekarang pihaknya belum mendapatkan sumber anggaran tetap, baik yang berasal dari APBD Sumut maupun sumber lainnya. Sehingga tidak jarang untuk memenuhi kebutuhan biaya operasional selama ini, pihak pengelola harus melakukan pinjaman. "Sumber pendanaan kami selama ini hanya berasal dari pasien saja. Baik Jamkesmas maupun umum," katanya.

Memang pada 2009 lalu, ada bantuan sebesar RP 3,8 miliar dari APBD Sumut, dan Rp 806 juta dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam bentuk peralatan. Tapi bantuan seperti itu tidak tiap tahun ada secara rutin. "Ada bantuan dari pemerintah, tapi tidak rutin," katanya.

Padahal untuk meningkatkan pelayana terhadap pasien, pihaknya sangat membutuhkan 160 tempat tidur dan bangunan kamar lagi. Karena kapasitas kamar yang berjumlah 234 yang ada saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk menerima pasien yang ada berobat ke Rumah Sakit Haji Medan. " Kami sangat butuh anggaran," ujarnya.
Selasa. 16/2/2010/Ukhti