Sunday, January 24, 2010

Anggaran Kesehatan Minim DPRD Sumut Datangi Pemerintah Pusat

Sesuai visi-misi Gubernur Sumut (Gubsu), H. Syamsul Arifin, SE membuat masyarakat tidak sakit, namun dengan kondisi APBD Sumut yang hanya mengalokasikan anggaran sekitar 3,54 persen dari total anggaran sebesar Rp 3,7 triliun, maka sangat perlu adanya penambahan angaran yang berasal dari APBN. Untuk itu, agar adanya peningkatan jumlah anggaran kesehatan di Sumut yang berasal dari APBN, DPRD Sumut melalui komisi E mendatangi pemerintah pusat.

Anggota Komisi E DPRD Sumut, Timbas Tarigan, A.Md menyatakan kunjungan kerja Komisi E DPRD Sumut ke pemerintah pusat yaitu dengan mendatangi Komisi IX DPR RI dan Menkokesra bertujuan untuk meminta tambahan anggaran dari APBN melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) dan stimulus untuk kebutuhan peningkatan kualitas kesehatan di Sumut. hal ini sesuai dengan visi-misi Gubsu agar rakyat tidak sakit.

"Kami langsung diterima oleh Menkokesra, Agung Laksono, dan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Irgan beserta anggota lainnya," terang Timbas Tarigan, A.Md, Jumat (22/1).

Menurut Timbas Tarigan, A.Md yang juga merupakan Ketua Fraksi Partai Keadilan sejahtera (FPKS) DPRD Sumut ini. Sesuai dengan amanah undang-undang kesehatan yang menyatakan bahwa alokasi anggaran yang bersumber dari APBN maupun APBD untuk kesehatan sebesar 10 persen dari total anggaran yang ada, serta Peraturan Daerah (perda) Sumut yang juga mengamanahkan sebesar 15 persen sehingga membuat rakyat tidak sakit dapat terwujud. Maka sangat perlu rasanya dilakukan penambahan anggaran dari APBN. Karena di 2010 ini saja, APBD Sumut baru sangup merealisasikan anggaran kesehatan sebesar 3,54 persen dari total anggaran yang ada, dan itupun 50 persen diantaranya telah dialokasikan untuk belanja tidak langsung (pembayaran gaji pegawai).

"Dari APBD Sumut, kita tidak mungkin lagi memaksakan peningkatan jumlah anggaran kesehatan di 2010 ini. Karena dengan jumlah anggaran yang terbatas saat ini, beban yang harus dikeluarkan sudah cukup besar. Makanya harus ada tambahan dari APBN," ujarnya.

Padahal, dari target kesehatan Sumut yang ingin dicapai. Sangat besar anggaran yang harus disediakan. Diantaranya untuk menjalankan program penurunan kasus kematian ibu dan anak yang terus meningkat tiap tahunnya di Sumut dengan kembali mengaktifkan 14.622 unit posyandu yang kondisisnya saat ini semakin tidak jelas dan mengaktifkan desa siaga melalui poliklinik desa (polindes), yaitu satu desa satu polindes. "Dengan ini diharapkan kematian ibu dan anak bisa diminimalisir. Makanya anggaran yang dibutuhkan juga cukup besar agar programnya berjalan efektif," terangnya.

Selain itu, berdasarkan hasil analisis yang dilakukan di Sumut maka ada beberapa kasus penyakit yang mengalami peningkatan. Sehingga Komisi E DPRD Sumut dan Dinkes Pemprovsu juga merasa perlu untuk mendirikan Rumah Sakit Umum (RSU) ginjal dan hipertensi serta balai Kesehatan indra dan Mata (BKIM) "Kami juga mengajukan bantuan anggaran pembangunan kepada pemerintah pusat," katanya.

Timbas Tarigan, A.Md juga menambahkan, untuk meningkatkan kualitas kesehatan di Sumut, maka salah satu yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas pelayanan di RS yang ada di Sumut dengan melakukan akreditasi kembali. Karena dari 176 RS yang ada di Sumut, baru 8,14 persen yang sudah teragreditasi. Padahal 2010 ini sesuai dengan target pemerintah harus ada 70 persen RS yang teragreditasi.
"Peningkatan kualitas pelayanan RS ini saja dibutuhkan anggaran sebesar Rp 613 miliar," ucapnya.

Dari 8,14 persen RS yang sudah teragreditasi tersebut. Juga belum sesuai dengan standar nasioanl. Karena misalnya saja untuk standar agreditasi RS untuk kelas B, seharusnya berdasarkan aturan nasionalnya ada 12 pelayanan yang sudah lengkap harus dipenuhi RS yang bersangkutan. namun untuk di Sumut, Rs kelas B baru mampu menyiapkan 5 jenis pelayanan. "Ini juga lagi diupayakan untuk diperbaiki, dan pasti akan memakan anggaran yang besar. Karena untuk peningkatan pelayanan ini, juga harus ada tambahan fasilitas yang dilengkapi," katanya.

Untuk itu, dalam pertemuan tersebut. Komisi E DPRD Sumut meminta dan mendesak pemerintah pusat dapat dengan serius membahas penambahan alokasi anggaran untuk provinsi Sumut, khususnya bidang kesehatan. Karena dari data yang ada, jumlah anggaran yang berasal dari APBN untuk Sumut tiap tahun mengalami pengurangan. padahal sejak 1998 -2007 jumlah APBN untuk Sumut tetap stabil sebesar Rp 108,8 miliar pertahunnya. Namun sejak 2008 terus mengalami penurunan yaitu menjadi Rp 74,97 miliar, dan 2009 menjadi Rp 48,9 miliar.

"Makanya kami harapkan dengan koordinasi ini, maka anggaran di 2010 bisa mengalami peningkatan. Walaupun APBN murni 2010 sudah disahkan, kan kita masih bisa berharap ada peningkatan di P-APBN yang dalam waktu dekat akan dibahas," paparnya.

Jangan sampai sebagai provinsi yang memberikan sumbangan terbesar ke APBN, Sumut merasa dikecewakan. Karena jumlah anggaran yang didapatkan tidak seimbang dengan yang diberikan ke kas negara. "Pemerintah pusat harus mampu menjadikan pembahasan anggaran APBN untuk Sumut ini sebagai perioritas," katanya.
Jumat, 22/1/2010/ukhti

Wednesday, January 13, 2010

PTPN II harus lebih optimal untuk capai Target Produksinya

Komisi B DPRD SUMUT melaksanakan dengar pendapat dengan PTPN II di ruang Komisi B gedung DPRD Sumut Kamis (13 Januari 2010). Dalam kesempatan tersebut anggota Komisi B DPRD Sumut Bapak Muhammad Nasir mempertanyakan capaian target produksi PTPN II yang menurutnya dinilai belum Optimal. Sehingga untuk masa yang akan datang PTPN II harus lebih serius lagi untuk merelisasikan target produksi yang telah ditetapkan.

"PTPN II harus lebih optimal dalam rangka pencapaian target produksi yaitu sawit, getah, tembakau dan gula yang masih sebesar 52% per tahun". demikian ungkap Muhammad Nasir.

Dalam pertemuan itu juga Muhammad Nasir menekankan agar PTPN II segera merealisasikan status hak atas tanah perkebunannya dan melakukan pemetaan tanah. "PTPN II harus segera merealisasikan status hak atas tanah dan perkebunan sehingga tidak menimbulkan sengketa dikemudian hari, demikian pula dengan pemetaan lahan jangan sampai terjadi kesalahan yang akan menimbulkan masalah di lapangan" ujarnya. Di sisi lain PTPN II wajib melunasi Tunggakan PBB yang masih terhutang sebesar Rp.87.439.543.874,-

Muhammad Nasir yang merupakan anggota Komis B dari Fraksi PKS tersebut. juga menyoroti tentang kemungkinan dilakukannya perluasan kota Medan yang bakal mengambil lahan PTPN II. "kalau memang nantinya perluasan kota Medan bakal beririsan dengan lahan PTPN II harapannya agar PTPN II berkenan memberikan kemudahan pada pemerintah kota Medan jika ingin melakukan perluasan kota medan", tambahnya.

Banmus DPRD Sumsel Studi Banding Ke Sumut

Badan musyawarah (Bamus) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Selatan (sumsel), melakukan studi banding ke DPRD Sumut, rabu(13/1). Menurut anggota Banmus yang juga menjabat Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Bapak Timbas Tarigan, A.Md mengatakan, kunjungan Bamus beserta Ketua dan Wakil Ketua DPRD Sumsel tersebut ingin melihat secara langsung kinerja dewan di Sumut terutama banmusnya. "Kunjungan tersebut ingin melakukan perbandingan tentang aktifitas dewan di Sumut dan Sumsel," ujarnya di Medan, Rabu (13/1).

Lebih lanjut dikatakannya, dari pertemuan tersebut. DPRD Sumut dapat dikatakan lebih siap menjalankan masa tugasnya jika dibandingkan dengan DPRD Sumsel. Karena DPRD Sumut telah mampu menyiapkan program kerja selama satu tahun kedepan, sedangkan Sumsel baru per tiga bulan. "Mereka (DPRD Sumsel)sangat menyambut antusias dengan kinerja Banmus di DPRD Sumut," katanya,

Sebagai salah satu bagian dari perangkat dewan, melakukan perbandingan kinerja Banmus memang sangat diperlukan. Karena Banmus merupakan salah satu badan yang posisinya paling stategis di dewan, tanpa program yang dirancang Banmus, seluruh agenda formal tidak dapat dijalankan. "Kunjungan kerja, pansus, dan agenda dewan lainnya tidak dapat dijalankan. Jika tidak direncanakan secara baik oleh Banmus. Makanya peran Banmus ini sangat penting, sehingga perlu dilakukan perbandingan dengan kondisi di provinsi lain," paparnya.

Timbas Tarigan, A.Md juga menyatakan, dari informasi yang disampikan DPRD Sumsel yang hadir sekitar 17 orang tersebut juga terlihat bahwa ada beberapa kesamaan antara DPRD Sumut dan Sumsel. Diantaranya yaitu dari jumlah anggota dewan yang tidak jauh berbeda (Sumsel 75 orang, dan Sumut 100 arang), serta situasi politik juga hampir sama, yaitu bersifat heterogen. "Sumut dan Sumsel memiliki beberapa kemiripan," ucapnya.

Dalam kesempatan tersebut, anggota DPRD Sumsel langsung diterima oleh Wakil Ketua DPRD Sumut, Kamaluddin Harahap dan Chaidir Ritongga, serta beberapa anggota Banmus DPRD Sumut lainnya.
Rabu, 13/1/2010/Ukhti

Tuesday, January 12, 2010

Dinilai kurang dukungan dan koordinasi Dinas Pariwisata tidak maksimal

Komisi B DPRD Sumut mengadakan Rapat kerja dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pada tanggal 12 Januari 2010 untuk membahas program kerja T.A 2010 dan mengevaluasi pelaksanaan program kerja T.A 2009 serta kebijakan pemerintah Provinsi tentang pariwisata. Wakil ketua komisi B Bapak Muhammad Nasir mengatakan, Agenda yang dibicarakan adalah permasalahan mengenai kurangnya dukungan dan tidak terkoordinasinya kerja untuk membangun infrastruktur jalan karena bisa dilihat semua ruas jalan menuju objek wisata susah dilalui seperti jalan menuju Bahorok dan Gundaling Berastagi.

Dalam rapat tersebut terungkap juga bahwa tidak memadainya Anggaran di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menyebabkan sosialisasi Budaya dan Objek Wisata tidak sampai kepada masyarakat dengan meluas. Muhammad Nasir yang merupakan anggota fraksi PKS DPRD sumut ini mengungkapkan, "Dinas pariwisata yang akan membuat program Kunjungan Museum Dihatiku harus serius dalam mensukseskan program tersebut.

"Untuk mensukseskan program tersebut Dinas Pariwisata Agar berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan. Sehingga diharapkan Sekolah-sekolah dalam semua tingkatan gemar mengunjungi Museum. Dengan demikian para pelajar maupun masyarakat umum akan memiliki tambahan pengetahuan dan wawasan mengenai sejarah yang lebih baik", tambahnya.
Lebih lanjut menanggapi anggaran program di dinas Pariwisata dan Kebudayaan Muhammad Nasir menekankan agar Kadis kebudayaan dan Pariwisata transparan dalam menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi. " Jika ingin meningkatkan Angaran APBD 2010 harus dirinci secara lengkap program apa yang menjadi prioritas". sebagai contoh acara Ramadhan Fair kurang dirasakan pesan moral karena tidak sesuai di waktu Ramadhan, lebih baik dibuat Fitri Fair". ungkapnya.
Selasa/12/01/2010,mh,az

Monday, January 11, 2010

PENGAWASAN DPRD SUMUT TERHADAP BANK SUMUT TERKAIT FEE TEMUAN KPK

PENGAWASAN DPRD SUMUT TERHADAP BANK SUMUT TERKAIT FEE TEMUAN KPK

DPRD Sumut Komisi C panggil Bank Sumut untuk mengikuti Rapat Kerja berdasarkan adanya temuan BPK, BI dan KPK tanggal 11 Januari 2010.
Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan praktik-praktik illegal berupa penyetoran uang atau fee kepada kepala daerah oleh Bank Pembangunan Daerah (BPD) dibeberapa propinsi di Tanah Air, termasuk Sumut,Disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Haryono Umar, menurut H. Hidayatullah,SE pemanggilan ini fokusnya megklarifikasi kemana aliran fee sebesar Rp.53 Miliar diberikan karena sebagai salah satu BUMD saat ini sangat mengkhawatirkan, karena sering digunakan sebagai ajang singgah bagi pejabat, Dia mengatakan Esensinya manfaat BUMD bagi daerah tidak lain untuk public servis bagi masyarakat dan paling tidak dengan adanya BUMD itu bisa menjadi sumber pendapatan daerah .

Direktur Utama Bank Sumut Gus Irawan menolak mengomentari adanya temuan KPK terkait masalah fee, termasuk nama-nama pejabat yang disinyalir menerima fee tersebut. Dijelaskan Gus Irawan, sesuai dengan aturan, setiap simpan pinjam atas nama pemerintah daerah (pemda), sesuai dengan sistem jasanya dimasukkan langsung kerekening Pemda dalam bentuk bunga, bukan kerekening pribadi karena itu tidak bisa dilakukan. Jadi setelah itu kemana uangnya, pihak bank tidak tahu menahu, karena yang punya rekening kan Pemda, Ditambahkan Gus Irawan, terkait masalah fee ini, pada tahun 2005 Bank Indonesia telah menyurati seluruh BPD untuk menyerahkan laporan terkait proses alur simpanan dana pemerintah, dan BUMN/BUMD.”Terkait permintaan BI tersebut, sudah kami jawab.

Menanggapi hal itu, anggota Komisi C dari fraksi PKS DPRD SUMUT, H. Hidayatullah, SE menyatakan, dari informasi beberapa eksekutif di pemda, memang ada yang membenarkan bahwa fee dari simpanan Pemda dibank masuk ke rekening pribadi pejabat, mulai dari kepala daerah, wakil kepala daerah, sekda, bagian keuangan dan bendahara. “ Kalau memang bank Sumut tidak tahu, ya karena memang tidak diperiksa. Tapi saya yakin kalau diperiksa pasti tahu ke mana saja dana tersebut dialirkan,” ujarnya.

Karena dari informasi yang disampaikan Bank Sumut, secara jelas mereka tidak membantah terkait penemuan BPK tersebut. Namun mereka melimpahkannya ke Depdagri. “ Saat ini memang sedang ditangani Depdagri karena menyangkut beberapa BPD yang ada di Indonesia, tapi ini kan juga sudah ditangani KPK agar segera minta untuk dipulangkan kembali ke kas Pemda karena dikategorikan sebagai gratifikasi dan dibawa ke ranah hukum. Makanya juga perlu pengawasan lagi,” terangnya.

H. Hidayatullah, SE mengharapkan kepada Bank Sumut agar dapat memberikan informasi terkait nama-nama pejabat yang menerima fee tersebut , sehingga selain proses penyidikan yang dilakukan Depdagri dan KPK, DPRD Sumut juga dapat melakukan pengawasan terhadap pihak terkait.
Selasa, 12 Januari 2010/Medan Bisnis,Seputar Indonesia

Sunday, January 10, 2010

Daerah Harus Satu Suara Perjuangkan Anggaran Perbaikan Jalan

Semua pihak yang terkait di daerah, baik lembaga eksekutif maupun legislatif harus memiliki satu suara untuk memperjuangkan anggaran yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk memperbaiki berbagai jalan provinsi yang rusak di Sumut. Seperti Jalan Lintas di Kebanjahe menuju Tiga Binangga dan Laobalang.

Menurut anggota Komisi D DPRD Sumut, Andi Arba, S.Ag pihaknya sangat prihatin dengan kondisi jalan-jalan lintas provinsi di Sumut seperti di Kebanjahe menuju Tiga Binangga dan Laobalang yang kondisinya masih rusak parah. Padahal kawasan seperti itu merupakan daerah pertanian yang sangat membutuhkan infrastruktur jalan yang baik."Jalan lintas itukan berada di kawasan pertanian, jadi masyarakatnya pasti sangat membutuhkan fasilitas jalan dengan kondisi yang baik," ujarnya di Medan, Selasa (5/1).

Karena dengan kondisi jalan yang rusak, maka dapat dipastikan akan banyak pihak yang dirugikan. Baik dari masyarakat petani yang jadi kesulitan untuk memasarkan hasil pertaniannya maupun para pengusaha jasa transportasi. "Ini juga secara tidak langsung menghambat perekonomian, sehingga pendapatan daerah dan kesejahteraan rakyat juga jadi terhambat," katanya.

Untuk itu, guna memperbaiki jalan tersebut, maka sangat perlu kesamaan suara semua pihak yang ada di Sumut. Baik dari tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sehingga permasalahan yang memang sudah lama tidak selesai teratasi ini dapat terselesaikan."Kalau memang belum masuk dalam APBn 2010, kan kita masih punya kesempatan untuk memperjuangkannya di P-APBN yang akan dibahas beberapa waktu lagi. Jadi disini sangat dibutuhkan peran dan partisipasi, baik Pemprovsu, Pemka/Pemko maupun DPRD," paparnyaSelasa,5/1/2010/Ukhti

Penerapan AFTA Tak Sesuai Dengan Kondisi Rill

Penerapan perdagangan bebas atau ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) yang mulai diberlakukan pada awal tahun 2010 ini tidak sesuai dengan kondisi rill dilapangan, khususnya di Sumut.Sekretaris Komisi B DPRD Sumut M Nasir mengatakan, baik pemerintah pusat maupun daerah tidak bercermin pada kondisis rill dilapangan terkait perkembangan usaha lokal dan pemasaran produk dalam negeri yang ada selama ini, dalam penetapan AFTA tersebut. Karena saat ini saja, produk dan pengusaha lokal masih mengalami kesulitan untuk memajukan usahanya. "Belum saatnya perdagangan bebas ini diberlakukan di Indonesia. karena pada dasarnya baik pemerintah maupun pengusaha memang belum siap," ujarnya di Medan, Senin (4/1).

Jika dengan kondisi rill yang ada saat ini, AFTA diberlakukan. Maka dapat dipastikan pengusaha lokal/pribumi akan banyak yang tutup, sehingga lapangan kerja akan semakian berkurang. "Ini kan bisa menambah masalah baru nantinya, jika dipaksakan untuk dijalankan," katanya.Karena sekarang saja, pelaku usaha lokal banyak yang mengeluhkan untuk meningkatkan usahanya. Selain sulit untuk mendapatkan tambahan modal melalui dana pinjaman lunak ke bank, proses perizinan dan pendistribusian juga berbelit-belit dan tidak ada yang membantu."Kalaupun pemerintah mengeluarkan izin administrasi untuk usaha, tapi tidak ada pembinaan yang dilakukan. Sehingga para pengusaha ini harus berjuang sendiri," terangnya.Belum lagi besarnya biaya produksi bahan baku yang harus dikeluarkan pengusaha.

Jadi jika AFTA diberlakukan, bagaimana pengusaha lokal dapat bersaing. Mereka pasti akan semakin terjepit. "Kalau memang AFTA ini mau betul-betul dijalankan, maka perlu adanya proteksi. Seperti mempermudah perizinan, dan membantu pemodalan serta pendistribusian produk-produk mereka. Sehingga pengusaha pribumi juga dapat bersaing dan tidak tertindas, karena jika dilihat dari segi kualitas, produk yang dihasilkan tidak kalah dengan produk luar negeri," paparnya.

Selain itu, pemerintah juga harus mulai mengalokasikan anggaran yang lebih besar di APBN maupun APBD untuk membantu perkembangan usaha lokal ini. Serta membuat sentral usaha lokal, seperti UKM dalam satu lokasi yang strategis."Kalaupun ada pusat UKM selama ini kan, tidak terfokus dan strategis. Makanya, harus ada persiapan yang matang dari pemerintah untuk menghadapi AFTA ini, agar tidak merugikan para pengusaha lokal," paparnya. Senin, 4/1/2010/Ukhti

Pembangunan Mess Pemprovsu Di Yogyakarta Tak Sesuai Bestek

Pembangunan mess milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) di Yogyakarta diduga menyimpang dari anggaran yang telah ditentukan dan pembangunannya juga tidak sesuai dengan bestek yang telah ditetapkan. Demikian disampaikan anggota Komisi C DPRD Sumut, H. Hidayatullah, SE di Medan, Senin (4/01/2010).

Menurut H. Hidayatullah,SE, adanya penyimpangan tersebut didapatkan dari laporan pihak-pihak yang dapat dipercaya. Namun, H. Hidayatullah, SE enggan menyebutkan siapa yang melaporkan adanya penyimpangan anggaran proyek tersebut.

"kami mendapat laporan, pembangunannya menyimpang dari besteknya. Sebenarnya kami sudah mempercayai laporan itu, tapi perlu dibuktikan juga supaya jelas dan semakin yakin. Yang pasti, laporan tersebut layak dipercaya kebenarannya," ujar Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPRD Sumut tersebut.

Penyimpangan anggaran tersebut terjadi pada pembangunan tahap kedua mess yang dianggarkan sebesar Rp 2,4 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumut 2009.

Selain itu, penyimpangan juga sebenarnya sudah terlihat pada anggaran pembangunan tahap pertama mess tersebut sebesar Rp 4,9 miliar yang dialokasikan pada APBD Sumut 2008. Karena sudah dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumut, sejumlah pihak yang terkait dari Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Sumut yang bertanggungjawab atas proyek tersebut, juga telah dimintai keterangan oleh penyelidik Kejati Sumut.

"Sampai sekarang memang belum ada kejelasan tindak lanjut laporan itu, tetapi faktanya kita melihat secara kasat mata memang menyimpang dari besteknya. Karena pembangunan tahap pertama ini, saya sendiri sudah melakukan tinjauan langsung," terangnya.

Dugaan terjadinya penyimpangan tersebut semakin menguat karena pada tahap pertama, pembangunan mess tersebut ditangani Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Sumut (Tarukim). Namun pembangunan tahap kedua justru ditangani oleh Biro Perlengkapan Pemprovsu. Padahal, lazimnya pembangunan proyek fisik berupa aset tidak bergerak ditangani oleh Dinas Tarukim.

"Yang menjadi pertanyaan kenapa beralih ke Biro Perlengkapan karena yang kita pahami selama ini, penanggungjawab proyek fisik ditangani Dinas Tarukim," ucapnya.

Potensi terjadinya penyimpangan proyek ini, lanjut H. Hidayatullah,SE, semakin besar karena letaknya jauh dari Sumut. Sehingga pelaksanaan proyek minim dari pengawasan. Rencananya, FPKS DPRD Sumut akan menurunkan tim untuk menginvestigasi kasus ini. Dengan demikian diharapkan bisa memperjelas terjadinya penyimpangan dan besarnya potensi kerugian keuangan daerah.

"Kami juga akan bawa masalah ini ke komisi untuk meminta penjelasan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang terkait. Diharapkan teman-teman di komisi juga mau sama-sama merekomendasikan agar pembangunan mess ini dapat segera diaudit oleh BPK," paparnya.
Senin, 4/1/2010/Ukhti

Friday, January 8, 2010

Anggota Dewan Komisi B Jalan Kaki Jemput Pergub Tentang Subsidi Pupuk

* Syamsul Arifin Berdalih Salahkan PT Pusri


MEDAN (Berita): Karena Pergub ( Peraturan Gubernur ) pengadaan dan penyaluran Pupuk Urea Bersubsidi tidak kunjung diterbitkan, anggota Komisi B DPRD SU lansung mendatangi Gubsu yang ditunjukkan dengan berjalan kaki dari gedung dewan ke kantor Gubsu akhirnya membuahkan hasil. Setelah aksi “jemput bola” itu, akhirnya Gubernur Sumatera Utara H Syamsul Arifin menandatangani Surat Keputusan (SK) Peraturan Gubsu (Pergub) tentang mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi, yang menjadi persyaratan bagi penyaluran pupuk di kabupaten/kota, Rabu [06/01].


SK Pergub ini sebelumnya tertahan di Biro Perekonomian Setda Provsu. Tertahannya SK ini disebut-sebut karena ada ‘main mata” antara oknum di Biro Perekonomian dengan mafia pupuk di Sumatera Utara. Ironisnya, Gubsu H Syamsul Arifin SE di hadapan anggota Komisi E justru berdalih mengaku tidak tahu perihal tertahannya SK Pergub tersebut di Biro Perekonomian.


Namun sebelumnya, menurut Gubsu dia sudah mengingatkan Kepala Dinas Pertanian untuk menyurati kepala daerah di kabupaten/kota, agar mensosialisasikan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) akan distribusi pupuk bersubsidi.


“Pusri tidak pernah lapor ke saya, minimal mengingatkan. Jadi ini akibat kelalain PT Pusri juga,” ujar Gubsu dalam pertemuan di lantai 10 Kantor Gubsu. Gubsu yang didampingi Asisten Perekonomian Djaili Azwar dan Kadis Pertanian Sumut M Rum, merasa ‘ditodong’ akan kehadiran anggota Komisi B. Apalagi, Komisi B sengaja datang ke Kantor Gubsu dengan berjalan kaki dari gedung dewan.


Menurut Gubsu, meski terlambat dia akan langsung menandatangani SK Pergub tersebut, setelah melalui 7 tahapan yang berawal dari kabiro. “Hari ini juga saya akan tandatangani SK pergub tersebut,” ujar Gubsu dihadapan anggota Komisi B dan Kepala PT Pusri.


Sebelum berangkat ke Kantor Gubsu, pertemuan antara Komisi B DPRD Sumut dipimpin Wakil Ketua Komisi B : Muhammad Nasir dengan PT Pusri yang dihadiri Pimpinan PT Pusri Renaldi Setia Budi, awalnya berlangsung di ruang Komisi B DPRD Sumut. Rapat dihadiri Anggota Komisi B, Aduhot Simamora, Tohonan Silalahi, Rina Sianturi, Ida Budi Ningsih, Richard M Lingga, Taufan Agung Ginting, Guntur Manurung, Fahruroji. Pimpinan PT Pusri Renaldi Setia Budi menjelaskan terlambatnya penyaluran pupuk bersubsidi dikarenakan belum adanya Peraturan Gubernur (Pergub) sebagai payung hukum untuk mendistribusikan pupuk bersubsidi ini ke kabupaten/kota.


“Padahal tidak tersalurnya pupuk bersubsidi ini membuat stok di gudang penuh dan jika PT Pusri tetap mendistribusikannya maka kami akan berurusan dengan pihak kepolisian. Hal ini yang tidak berani kami lakukan karena saya sudah berulang kali dipanggil Mabes Polri karena hal seperti ini,” ujar Renaldi pimpinan PT Pusri.


Pernyataan Pimpinan PT Pusri inilah yang kemudian ‘memancing’ emosi salah seorang anggota Komisi B, Bustami HS. Dia menilai biang kerok dari persoalan ini adalah Biro Perekonomian dan Biro Hukum Setda Provsu yang terkesan sengaja ingin menahan-nahan keluarnya Pergub tersebut. “Padahal petani sangat membutuhkannya. Saat reses kemarin kita pun sangat terenyuh mendengarkan keluhan petani akan langkanya pupuk bersubsidi. Akibatnya kalaupun ada harga pupuk sangat mahal,” kata Bustami.


Bustami pun mengusulkan agar Komisi B dan pimpinan PT Pusri langsung berangkat ke Kantor Gubsu di Jalan Diponegoro untuk mendatangi Biro Perekonomian. “Saran saya ayo kita berangkat ke Kantor Gubsu dan mendatangi Biro Perekonomian. Kita tanya apa pasalnya Pergub itu nggak keluar-keluar,” kata Bustami seraya menyatakan jika tidak pertemuan itu tak perlu dilanjutkan.

Namun pimpinan rapat, Muhammad Nasir menilai pertemuan itu sebaiknya dilanjutkan dengan mendengarkan penjelasan dari staf Biro Hukum yang sengaja didatangkan dalam pertemuan itu. Akhirnya, Bustami pun memutuskan untuk meninggalkan ruang rapat sebagai bentuk sikap politiknya.(Waspada,Global)

Wednesday, January 6, 2010

PT. INALUM MASIH LAYAKKAH DILANJUTKAN?

oleh : AMSAL NASUTION, B.Eng
Sesuai Master Of Agreement perjanjian kerjasama antara pemerintah Indonesia dan 6 perusahaan Jepang yang tergabung dalam PT. INALUM akan berakhir pada Oktober 2013. Perusahaan raksasa ini berdiri sejak 1976 dan mulai beroperasi 20 Januari 1982. Terdiri dari pembangkit listrik (PLTA) kapasitas 426 MW dan peleburan aluminium ( Smelter) kapasitas 225000 ton aluminium per tahun dengan total investasi 411 milyar yen (+/- Rp.50 trilyun). Pada saat perjanjian kerja sama berakhir maka perusahan tersebut telah beroperasi selama 30 tahun lebih.

Perusahaan ini bisa disebut perusahaan paling istimewa di Sumatera Utara, investasi yang sangat besar, sejarah panjang pendiriannya dan yang paling fantastis 24 tahun beroperasi perusahaan ini bukannya untung bahkan membukukan total kerugian 900 juta dollar. Tidak aneh banyak suara miring yang dialamatkan kepada pemerintah tentang lemahnya posisi Indonesia dalam Master of Agreement tersebut, ada yang telah melacurkan kepentingan bangsa ini.

Beberapa tahun terakhir menjelang berakhirnya kerjasama kinerja perusahaan semakin baik: perusahaan mulai mencatat laba, membayar pajak badan, melunasi hutang, diperkirakan pada saat serah terima nanti hutang telah lunas dan perusahaan akan mempunyai kas sebesar 628 juta dolar. Disamping itu, saat ini putra putri Indonesia sudah mampu menjalankan perusahaan ini baik dari sisi teknologi maupun manajemen.

Menurut rencana, 1 Nopember 2010 akan dilakukan pembicaraan antara pemerintah Indonesia dengan pihak Jepang untuk menentukan status kepemilikan perusahaan ini. Kita berharap pemerintah mampu menentukan pilihan terbaik untuk bangsa ini dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Untuk menentukan pilihan tentu saja harus didasari kajian yang mendalam, namun secara garis besar pilihan tersebut berkisar pada dua isu. Pertama, masalah kepemilikan apakah pemerintah akan mengambil alih dengan atau tanpa peran swasta. Kedua, apakah perusahaan tetap pada bisnis peleburan aluminium atau mengalihkannya menjadi pembangkit listrik.

Menurut hemat kami, dengan keterlibatan pihak swasta nasional masalah kepemilikan tidak begitu sulit diselesaikan. Bahkan Ir. Effendi Sirait, Ketua Otorita Asahan pernah menyatakan, dengan prediksi keuangan PT. Inalum tahun 2013, pemerintah tidak perlu lagi repot-repot untuk mencari dana men-take over saham Jepang dari tubuh PT Inalum.
Kami justru melihat masalah kedua sangat penting menjadi perhatian. Menurut kami, pengambil alihan perusahaan tersebut dan menjadikannya sebagai pembangkit listrik suatu opsi yang paling menguntungkan baik alasan historis maupun alasan kondisi kelistrikan di SUMUT.

Alasan historis
Tujuan utama proyek Asahan ini adalah memanfaatkan potensi sungai Asahan yang luar biasa untuk pembangkit listrik, bahkan usaha ini sudah dijajaki sejak masa kolonial Belanda. Akan halnya pabrik peleburan aluminium, hanya solusi sementara karena pada saat didirikan Sumatera Utara belum mampu mengkonsumsi listrik sebesar itu. Hal ini kelihatan dari strategi industri aluminium yang tidak rasional, bahan baku 100 % impor dan hasil produksi hampir semua diekspor. Singkatnya, industri aluminium ini hanya memanfaatkan listrik murah dari aliran sungai Asahan. tidak ada yang lain.

Alasan kondisi kelistrikan di Sumatera Utara.
Sejak tahun 2005 pemerintah melalui Keputusan Menteri ESDM no.479-12/43/600.2/2005 menyatakan Sumatera Utara sebagai daerah krisis penyediaan energi listrik. Krisis ini telah meluluh lantakkan industri di Sumatera Utara, baik UKM maupun industri besar. Perusahaan terpaksa mengurangi jam operasi atau menggunakan pembangkit sendiri yang sudah pasti membuat lonjakan biaya produksi. Akibatnya, investor lari dan pengangguran semakin meningkat. Upaya PLN sampai saat ini belum pernah terbukti bisa menyelesaikan krisis listrik, kecuali pada momen tertentu pada hari raya keagamaan.
Dari data PLN, daya mampu PLN saat ini 1300 MW( dengan keandalan yang terbukti tak andal),rencana pembangkit baru tahun-2010/2011 sebesar 804 MW, dan beberapa proyek lain setelah 2012 sebesar 644 MW, sehingga total daya tersedia tahun 2013 sebesar 2748 MW atau 2 kali kondisi saat ini. Pertanyaannya, apakah listrik dari Inalum masih dibutuhkan?.
Dari sisi kebutuhan akan listrik, dengan penduduk Sumatera Utara 14 juta jiwa dan rencana produksi PLN tahun 2009 sebesar 6111 GWH maka konsumsi listrik perkapita baru berkisar 436 KWH. Menurut data UNDP tahun 2002, konsumsi perkapita Thailand 1352 KWH, Malaysia 2474 KWH. Artinya, jika kita ingin menyamai Thailand saja di tahun 2002 yang lalu, kita butuh berkisar 3 kali pembangkit saat ini, atau jika ingin sama dengan Malaysia tahun 2002, kita butuh hampir 6 kali lipat. Artinya, kita tetap butuh pembangkit tambahan.
Kemudian dari sisi biaya, PLN Sumbagut saat ini menjual listrik dengan harga rata-rata Rp.633/KWH sementara biaya pokok penyediaan BPP (termasuk yang dikorupsi) sebesar Rp.1772/KWH. Artinya, subsidi yang sangat besar masih harus ditanggung pemerintah. Mahalnya BPP ini akibat dari ketidak efisienan/korupsi di tubuh PLN dan juga jenis pembangkit yang menggunakan energy primer yang mahal seperti HSD, MFO dll. Sesuatu yang tak layak dilakukan oleh perusahaan pembangkit yang waras. Dengan bergabungnya Inalum ke system pembangkit listrik Sumatera Utara dipastikan BPP PLN secara umum akan turun drastis.
Lalu apa justifikasi kita meninggalkan Smelter Aluminium? Bukankah tetap untung?. Sebagai ilustrasi, PT. Inalum dalam rentang tahun 2004 sampai 2009 telah memproduksi aluminium sebanyak 1488 ribu ton aluminium dengan perkiraan konsumsi listrik sebesar 21576 GWH ( dalam kurun yang sama PLN hanya menghasilkan 31025 GWH) hanya bisa menghasilkan laba bersih 683 juta dollar AS (sekitar Rp.6,4 trilyun). Jika listrik sebanyak itu dijual dengan harga subsidi PLN Rp.633/KWH, maka nilainya sekitar Rp.13,7 trilyun, jika dengan harga BPP Rp.1772/KWH nilainya menjadi Rp.38.2 trilyun. Dengan biaya produksi PLTA yang hanya berkisar Rp.100/KWH, maka biaya produksi hanya berkisar Rp.2 Trilyun. Artinya dibandingkan dengan kinerja PLN saat ini, perusahaan akan untung Rp.36 trilyun atau Rp. 6 trilyun per tahun. Sementara dari bisnis aluminium PT. Inalum hanya mampu meraup keuntungan semu sebesar 1 trilyun per tahun. Ancit nai amang naso mamboto.
Penutup, aliran sungai Asahan yang menyimpan potensi listrik yang luar biasa adalah anugerah Allah swt kepada rakyat Sumatera Utara. Tidak semua daerah memilikinya. Maka adalah suatu kewajaran jika rakyat Sumatera Utara mendapat manfaat yang besar dari karunia tersebut. Pihak-pihak yang menghalangi rakyat dalam mendapat manfaat tersebut baik penguasa maupun pengusaha adalah zalim, apalagi disaat jeritan panjang masyarakat Sumatera Utara akan krisis listrik belum usai. Pilihan paling bijak menurut kami adalah menutup Smelter PT. Inalum dan menggunakan PLTA-nya untuk menutupi kebutuhan listrik Sumatera Utara. Dengan itu pasokan listrik yang murah akan terjamin, industry akan tumbuh dan jutaan masyarakat akan mendapat pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya. Insya Allah. Wallohu a’lam bisshawab.
AN/H/07/12/10

Monday, January 4, 2010

Pemerintah Provinsi Sumut Belum Siap Hadapi AFTA

Pemerintah daerah di Sumut, khususnya Pemprovsu. Belum siap untuk menghadapi pelaksanaan ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang akan dilaksanakan 2010 ini. Buktinya, memasuki awal tahun ini belum ada persiapan khusus atau antisipasi untuk menghadapai pemberlakuan AFTA tersebut.Demikian disampaikan anggota Komisi C DPRD Sumut dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), H. Hidayatullah, SE di Medan, Minggu (3/1).

Menanggapi akan dilaksanakan AFTA di Indonesia termasuk Sumut pada 2010 ini. Menurut H. Hidayatullah, SE, pelaksanaan AFTA ini pasti akan sangat mempengaruhi perkembangan dan kondisi usaha di Indonesia, khususnya di sumut sebagai pintu masuk utama barang-barang ekspor jika dilihat dari letak geografisnya yang berdekatan dengan berbagai negara tetangga. Namun sayangnya, sampai sekarang belum ada pembahasan atau antisipasi yang disiapkan Pemprovsu untuk menghadapi AFTA ini. "Pemerintah kita belum siap untuk menghadapi AFTA ini. Bahkan terkesan pura-pura tidak tahu bahwa akan ada pemberlakuan AFTA, dan menganggap bahwa program ini hanya pemikiran pemerintah pusat yang tidak ada hubungannya dengan daerah," ujarnya.

Hal itu terbukti dengan tidak adanya pembahasan terkait AFTA dalam grean desain Sumut. "Tidak ada singgung-singgung soal AFTA dalam grand design Sumut. Sumutkan memang seringnya begitu, bermasalah dulu, ribut-ribut dulu, baru nanti sibuk cari antisipasinya," ucapnya. Jadi, untuk menghadapi AFTA ini, memang baru pemerintah pusat yang melakukan proteksi atau antisipasi. Sedangkan di Sumut sendiri, belum ada langkah yang diambil. Padahal, jika tidak diproteksi dapat dipastikan usaha dan produk-produk lokal di Sumut akan banyak yang kalah bersaing. Karena saat ini saja, sebelum AFTA diberlakukan, usaha lokal banyak yang mengalami kesulitan untuk berkembang. Seharusnya, Pemprovsu segera melakukan inventarisisr dan menganalisis dampak paling pahit yang dapat terjadi dengan pemberlakukan AFTA ini, sehingga kedepan ada antisipasi untuk menghadapinya. "Sudah bisa dihitung berapa usaha dan jenis usaha apa saja yang tidak sanggup menghadapi AFTA ini untuk disampaikan ke pemerintah pusat. Jadi ada proteksinya," terang politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPRD Sumut ini.

Jika tidak dapat diproteksi, mungkin langkah yang dapat diambil pemerintah pusat dan Pemprovsu adalah dengan memberikan keringanan atau penghapusan beban biaya yang harus ditanggung pengusaha lokal selama ini. Misalnya saja dengan penghapusan atau pengurangan pajak pendapatan, dimana biasanya pada saat pendapatan Rp 50 juta mereka suah kena pajak 15 pesen, ini dinaikkan pada saat pendapatan Rp 100 juta baru kena pajak. Dengan cara ini diharapkan dana yang dikeluarkan untuk membayar beban dapat dialokasikan sebagai modal usaha, sehingga harga barang yang akan dijual dapat lebih murah untuk menyaingi barang-barang ekspor.

"Beban mereka dikurangi untuk dialokasikan sebagai modal tambahan bagi para pengusaha lokal. Mungkin pemberian insentif seperti ini akan dapat sedikit membantu pengusaha lokal dalam menghadapi AFTA ini," terangnya.

Selain itu, sosialisasi kepada pihak terkait, baik pengusaha dan pekerja tentang pelaksanaan AFTA ini juga harus dilakukan. Sehingga masing-masing mereka juga dapat melakukan efesiensi sejak dini dalam menghadapi persaingan. "Termasuk, pungli-pungli (pungutan liar) yang banyak diberlakukan pejabat maupun pemerintah harus segera dihilangkan. Sehingga beban pengusaha tidak semakin bertambah," paparnya.
Minggu, 3/1/2010/Ukhti

FPKS DPRD Sumut Kunjungi Napi di LP Pangkalan Brandan

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPRD Sumut, yang diwakili ketuanya Bapak Timbas Tarigan, A.Md mengunjungi para narapidana (napi) di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pangkalan Brandan pada 27 Desember 2009. Untuk mendukung jalannya salah satu program Menteri Hukum dan HAM dalam 100 hari kabinet Indonesia bersatu jilid II.

Menurut Timbas Tarigan, A.Md, kunjungan tersebut dilaksanakan dalam bentuk pasantren kilat dengan memberikan beberapa materi yang bermanfaat bagi para napi dan pegawai yang ada di LP tersebut. "Saya memberikan materi tentang al insan (mengenal manusia)," katanya di Medan, Kamis (31/12). Tujuannya adalah, agar para peserta yaitu para napi dan pegawai LP dapat lebih memahami dirinya sebagai manusia. Sehingga secara langsung mereka diharapkan dapat lebih mengenal tuhannya dan hidup sesuai dengan aturan agama secara lebih baik. "Ada sekitar 30 orang yang mengikuti pasantren kilat tersebut. Dan mereka terlihat sangat antusias mengikutinya, terbukti dari berbagai pertanyaan yang diajukan," ujar anggota Komisi E DPRD Sumut ini.

Diharapkan dengan penyampaian materi al insan ini, para napi yang ada di dalam LP dapat betul-betul mengenal dirinya seabagi manusia untuk mempersiapkan diri jika mereka menyelesaikan masa hukumannya dan kembali ketengah-tengah masyarakat. "Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan penyadaran kepada para napi, agar mereka bisa lebih baik lagi. Sehingga pada saat keluar dari LP, masyarakat umum dapat juga menerima mereka dengan baik," terangnya.

Melihat antusias para peserta, khususnya napi. Pihaknya juga berencana akan melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan penanggungjawab LP untuk melaksanakan kegiatan pasantren kilat tersebut secara rutin sekitar sebulan sekali. "Memang belum ada kesepakatan. Tapi kami rencananya mau menindaklanjuti pertemuan ini, dengan melakukan pertemuan rutin dan memberikan materi-materi agama kepada napi sebulan sekali," paparnya.
Kamis, 31/12/2009/Ukhti

Ketua FPKS DPRD Sumut, 2010 Dewan Harus Golkan Perda Tarif RSJ Pemprovsu

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPRD Sumut, Timbas Tarigan, A.Md mendesak, agar pada tahun 2010 mendatang, anggota dewan harus mampu "menggolkan" pengesahan peraturan daerah (perda) tarif yang menjelaskan secara tegas berbagai tarif yang dapat dikenakan dalam memberiakn pelayanan. Sesuai harapan Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit jiwa (RSJ) Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) yang meminta agar pada 2010 mendatang, perda tarif ini harus segera direalisasikan. “Untuk itu, dewan harus mampu menjadikan pengesahan perda ini sebagai perioritas karena RSJ Pemprovsu sendiri sudah lama mengajukan pembuatan perda ini," ujarnya, di Medan, Kamis (31/12).

Menurut Timbas Tarigan, A.Md yang juga merupakan anggota Komisi E DPRD Sumut ini, pembuatan perda tarif baru bagi RSJ Pemprovsu merupakan hal yang sangat realistis untuk dapat di wujudkan. Karena selain dari segi anggaran juga ada di alokasikan dalam APBD Sumut, dari kondisi rill dilapangan juga sangat membutuhkan penerapa tarif baru di RSJ Pemprovsu. Sehingga pelayanan dan alat yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat.

"Anggaran pembuatan Perda ini, saya rasa tidak ada masalah. Karena dewan selalu mengalokasikan pembuatan perda dalam APBD Sumut. Jadi tinggal disampaikan saja kepada pimpinan dewan," terangnya.
Ditambahkan Timbas Tarigan, A.Md, dari paparan yang disampaikan Plt Direktur RSJ Pemprovsu, Dapot Parulian, dalam rapat kerja antara komisi E DPRD Sumut dan RSJ Pemprovsu, Pada 29 Desember lalu. Juga disampaikan bahwa peraturan yang digunakan RSJ Pemprovsu untuk mengenakan tarif dalam memberikan pelayanan selama ini kepada masyarakat berpatokan pada surat keputusan Direktorat Jenderal (Dirjen) Pelayanan Medis (Yanmed) Departemen Kesehaan (Depkes) Republik Indonesia (RI) tahun 2001. Jadi, dengan melihat berbagai perkembangan yang terjadi saat ini, maka peraturan tersebut sudah sangat tidak realistis lagi untuk dijadikan patokan. "kalau perda ini tidak segera direalisasikan, bisa-bisa peningkatan kualitas dan mutu di RSJ hanya omong kosong saja," katanya.

Selain itu, terang Timbas Tarigan, A.Md, ada beberapa fasilitas kesehatan yang baru dibeli RSJ Pemprovsu namun belum dapat dimanfaatkan oleh pasien dan masyarakat umum. Karena mereka belum dapat menetapkan berapa jumlah tarif yang dapat dikenakan jika alat tersebut digunakan."Mereka kan (RSJ Pemprovsu) juga tidak dapat menerapkan tarif sembarangan jika tidak ada payung hukum yang kuat. Makanya DPRD Sumut pada 2010 ini harus betul-betul memperioritaskan perda ini. Masak pelayanan terbaik dan penggunaan fasilitas yang ada tidak dapat diberikan hanya karena terkendala perda," terangnya.

Agar realisasi perda ini juga dapat tercapai, ucap Timbas Tarigan, A.Md. Maka sesuai dengan hasil rapat Komisi E DPRD Sumut, akan dilakukan pertemuan khusus dan rutin antara dewan dan pihak RSJ Pemprovsu. Karena konsep dari RSJ Pemprovsu sendiri sebagai pihak yang paling paham dan pelaku dilapangan sangat diperlukan. "Tidak hanya semangat dewan yang dituntut untuk merealisasikan perda tarif ini. Tapi keseriusan RSJ Pemprovsu juga dibutuhkan," paparnya.
Disamping itu, kata Timbas Tarigan, A.Md. Pihaknya juga sepakat dengan adanya usulan perluasan lahan bagi RSJ Pemprovsu sesuai dengan kebutuhan. Karena sesuai dengan informasi yang diterimanya, luas lahan yang ada saat ini sekitar 4 hektar masih sangat kurang untuk memberikan pelayanan dan fasilitas yang layak bagi para pasien. "Kami dari FPKS juga sangat sangat setuju adanya penambahan lahan sekitar 3,8 hektar lagi. Supaya fasilitas yang dibutuhkan pasien dapat terlengkapi. Karena jumlah pasien yang ada sekarang juga sudah sangat melewati kapasitas yang seharusnya. Jadi dewan juga harus memperjuangkan ini," ujarnya.
Kamis, 31/12/2009/Ukhti

SKPD Tak Beres Serapan APBD Sumut 2009 Minim

Serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) Sumut 2009 masih minim, khususnya belanja langsung untuk kepentingan masyarakat yaitu baru mencapai 51 persen per November merupakan bukti bahwa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemprovsu tidak beres dalam menjalankan program yang ada.

Menurut Anggota Komisi C DPRD Sumut dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), H. Hidayatullah, SE, melihat serapan langsung APBD Sumut yang baru mencapai 51 persen per November lalu merupakan kondisi yang sangat mengecewakan, dan ini merupakan bukti bahwa SKPD tidak beres dalam menjalankan program yang sudah disusunnya. "Ini bukti bahwa program yang diajukan SKPD tidak melalui perancangan yang matang. Ini menunjukan keamburadulan SKPD kan," ucapnya di Medan, Rabu (30/12).

Bukti bahwa program SKPD tidak melalui perancangan dapat dilihat dari laporan yang disampaikan Dinas Tarukim beberapa waktu lalu terkait tidak digunakannya sama sekali anggaran kelanjutan pembangunan gedung serba guna (GSG) sebesar Rp 5 miliar yang ada di PAPBD Sumut 2009. "Kalau programnya betul-betul matang, masak itu anggaran sudah ada tapi tidak digunakan sama sekali. Anggaran ini masuk dalam APBD kan juga karena diajukan SKPD," terangnya.

Dari DPRD Sumut sendiri, pihaknya sudah mencoba untuk menyelesaikan tanggungjawabnya dengan mengesahkan APBD 2009 tepat waktu, yaitu pada Desember 2008. Sehingga Januari 2009, seharusnya APBD tersebut sudah dapat dijalankan sesuai dengan program. "Tidak ada lagi alasan bahwa penyerapan anggaran minim, karena APBD terlambat disahkan," ujarnya.

Jadi, kesalahan minimnya serapan APBD ini memang terletak ditangan SKPD. karena DPRD Sumut sendiri sudah mencoba untuk memaksimalkan kinerjanya. "Kan sangat disayangkan jika kinerja dewan yang mulai mengalami peningkatan tidak diimbangi oleh SKPD," katanya.
Dengan kondisi yang ada ini, juga sangat wajar jika Gubsu kecewa dengan SKPD. Untuk itu, sebagai pihak yang mengangkat SKPD, Gubsu harus mampu bertindak tegas dengan memberikan sanksi kepada SKPd yang tidak mampu menjalankan program dengan baik sehingga serapan APBD Sumut jadi minim. "karena jika SKPD yang ada masih gii-gini juga, maka saya yakin serapan tahun depan juga akan minim," ucapnya.

Selain itu, tambah H. Hidayatullah, SE, minimnya serapan anggaran ini juga merupakan indikasi kesengajaan untuk mengumpulkan ratusan miliar anggaran yang ada. Sehingga bisa disimpan di bank, dan diambil bungannya untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. "Ada dugaan daya serap rendah ini karena memang disengaja," katanya.

Padahal, tidak diserapnya APBD Sumut secara maksimal tersebut, sangat merugikan masyarakat Sumut. Karena proses pembangunan yang seharusnya sudah dapat dinikmati masyarakat, harus tertunda hanya karena SKPD yang tidak maksimal. "Selain SKPD, ada juga peran dari biro keuangan terkait kecilnya serapan anggaran ini. Karena banyak laporan yang menyatakan sulit untuk merealisasikan anggaran yang ada karena banyaknya proses yang harus dilalui," terangnya.

Untuk kedepan, agar serapan APBD Sumut ini dapat lebih maksimal, maka Badan anggaran (banggar) di DPRD sumut harus lebih maksimal melakukan pengawasan dan bekerja sepanjang tahun. Tidak hanya berdasarkan agenda saja. Selain itu, untuk antisipasi lain yang dapat dilakukan agar anggaran dapat terserap dengan baik yaitu SKPD yang ada sudah dapat melakukan persiapan dari sekarang terkait program yang akan dijalankan. Sehingga pada Januari
mendatang, program memang betul-betul dapat dijalankan. "APBD 2010 kan sudah disahkan pada September lalu, jadi sudak OK kondisinya. Untuk itu SKPD harus betul-betul dapat jalankan program mulai awal tahun,"
terangnya.
Rabu, 30/12/2009/Ukhti

Tahun 2010, Bupati Tapsel Janji Pindahkan Ibukota ke Sipirok


Setelah mundur dalam waktu yang cukup lama untuk melaksanakan Undang-Undang No 37-38/2007 tentang pemekaran Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) dan penetapan Sipirok sebagai ibukota, Bupati Tapanuli Selatan, Ongku P Hasibuan berjanji akan memindahkan ibukotanya dari Padangsidimpuan ke Sipirok secara bertahap pada tahun 2010. Demikian disampikan Ketua Komisi A DPRD Sumut, H. M Nuh, MSp di Medan, Minggu (27/12). Menurutnya, janji tersebut disampaikan Ongku P Hasibuan dihadapan anggota Komisi A DPRD Sumut yang melakukan kunjungan kerja ke Sipirok pada 23 Desember 2009.

Mulanya, terang politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPRD Sumut ini, Ongku sempat memberikan beberapa penjelasan perihal beberapa kesulitan yang akan dihadapi jika ibukota dipindahkan ke Sipirok kepada komisi A DPRD Sumut. Namun, tidak ada anggota Komisi A DPRD Sumut yang menerima dan menyetujui alasan penundaan relokasi ibukota tersebut."Kami tetap tegas meminta agar bupati segera menjalankan UU yang sudah ditunda pelaksanaannya 10 bulan lebih," katanya. Karena, apa yang sudah ditetapkan oleh UU harus dilaksanakan. Yakni seharusnya pemindahan ibukota sudah dilaksanakan paling lambat 18 bulan
dari diterbitkannya undang-undang tersebut, yaitu pada bulan Februari 2009. Jika tidak, maka penundaan pelaksanaan pemindahan ibukota ini akan menjadi preseden buruk bagi masyarakat, melihat bahwa pemimpinnya malah tidak mematuhi UU.

Jika memang didalam pelaksanaan UU ini ada kendala atau halangan yang dihadapi, ujar H. M Nuh, M.Sp, tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mentaati dan menjalankan UU yang telah dikeluarkan pemerintah. Tapi harus dicari jalan keluar sesuai aturan yang berlaku.
"Kalau memang ada kendala, ya harus ikuti mekanisme. Jika memang perlu adanya perubahan undang-undang kan ada prosedurnya, jadi bukan berarti langsung undang-undang tersebut tidak dijalankan," katanya. Jadi, Komisi A DPRD Sumut, akan tetap mendesak agar pemindahan ibu kota segera dilakukan. Walaupun memang ada beberapa alasan mendasar yang disampaikan Bupati, namun itu hanya dijadikan pertimbangan untuk tidak memberikan sanksi kepada Bupati Tapsel terkait ditundanya pelaksanaan undang-undang selama 10 bulan.
"Mulanya Bupati malah minta penundaan sampai 2012, ini tidak bisa kami terima Karena akan jadi image yang buruk bagi masyarakat. Masak seorang pemimpin tidak taat UU," ucapnya. Sebelumnya, Komisi A DPRD Sumut juga menerima sejumlah tokoh masyarakat di Torsibohi Hotel. Masyarakat secara aklamasi menyerukan kepada bupati untuk segera mengikuti peraturan dan UU yang ditetapkan, yaitu segera memindahkan ibukota Tapsel ke Sipirok. Jika tidak mau atau belum mampu mereka mendesak bupati agar mundur dari jabatannya.
Minggu, 27/12/2009/Ukhti

Tahun 2010, Bupati Tapsel Janji Pindahkan Ibukota ke Sipirok

Setelah mundur dalam waktu yang cukup lama untuk melaksanakan Undang-Undang No 37-38/2007 tentang pemekaran Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) dan penetapan Sipirok sebagai ibukota, Bupati Tapanuli Selatan, Ongku P Hasibuan berjanji akan memindahkan ibukotanya dari Padangsidimpuan ke Sipirok secara bertahap pada tahun 2010. Demikian disampikan Ketua Komisi A DPRD Sumut, H. M Nuh, MSp di Medan, Minggu (27/12). Menurutnya, janji tersebut disampaikan Ongku P Hasibuan dihadapan anggota Komisi A DPRD Sumut yang melakukan kunjungan kerja ke Sipirok pada 23 Desember 2009.

Mulanya, terang politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPRD Sumut ini, Ongku sempat memberikan beberapa penjelasan perihal beberapa kesulitan yang akan dihadapi jika ibukota dipindahkan ke Sipirok kepada komisi A DPRD Sumut. Namun, tidak ada anggota Komisi A DPRD Sumut yang menerima dan menyetujui alasan penundaan relokasi ibukota tersebut."Kami tetap tegas meminta agar bupati segera menjalankan UU yang sudah ditunda pelaksanaannya 10 bulan lebih," katanya. Karena, apa yang sudah ditetapkan oleh UU harus dilaksanakan. Yakni seharusnya pemindahan ibukota sudah dilaksanakan paling lambat 18 bulan
dari diterbitkannya undang-undang tersebut, yaitu pada bulan Februari 2009. Jika tidak, maka penundaan pelaksanaan pemindahan ibukota ini akan menjadi preseden buruk bagi masyarakat, melihat bahwa pemimpinnya malah tidak mematuhi UU.

Jika memang didalam pelaksanaan UU ini ada kendala atau halangan yang dihadapi, ujar H. M Nuh, M.Sp, tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mentaati dan menjalankan UU yang telah dikeluarkan pemerintah. Tapi harus dicari jalan keluar sesuai aturan yang berlaku.
"Kalau memang ada kendala, ya harus ikuti mekanisme. Jika memang perlu adanya perubahan undang-undang kan ada prosedurnya, jadi bukan berarti langsung undang-undang tersebut tidak dijalankan," katanya. Jadi, Komisi A DPRD Sumut, akan tetap mendesak agar pemindahan ibu kota segera dilakukan. Walaupun memang ada beberapa alasan mendasar yang disampaikan Bupati, namun itu hanya dijadikan pertimbangan untuk tidak memberikan sanksi kepada Bupati Tapsel terkait ditundanya pelaksanaan undang-undang selama 10 bulan.
"Mulanya Bupati malah minta penundaan sampai 2012, ini tidak bisa kami terima Karena akan jadi image yang buruk bagi masyarakat. Masak seorang pemimpin tidak taat UU," ucapnya. Sebelumnya, Komisi A DPRD Sumut juga menerima sejumlah tokoh masyarakat di Torsibohi Hotel. Masyarakat secara aklamasi menyerukan kepada bupati untuk segera mengikuti peraturan dan UU yang ditetapkan, yaitu segera memindahkan ibukota Tapsel ke Sipirok. Jika tidak mau atau belum mampu mereka mendesak bupati agar mundur dari jabatannya.
Minggu, 27/12/2009/Ukhti

Saat Reses dan Kunjungan Kerja DPRD Sumut Masih Saja Terima Uang

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara (Sumut) periode 2009-2014 belum menunjukkan kinerja ke arah yang lebih baik dibanding periode sebelumnya. Harapan besar akan adanya perubahan belum terlihat di tiga bulan masa kerja DPRD Sumut. Salah satunya terlihat dari masih adanya anggota dewan yang menerima uang saat melakukan reses atau kunjungan kerja.

Menurut anggota Komisi C DPRD Sumut, H. Hidayatullah, SE, dirinya belum merasa optimis bahwa anggota DPRD Sumut periode 2009 - 2014 akan mampu membawa perubahan lebih baik, jika dibandingkan dengan anggota dewan periode sebelumnya. Salah satu indikator yang menunjukkan belum adanya perubahan yang lebih baik itu adalah masih ada saja anggota Dewan yang mau menerima uang dari pemerintah daerah saat melakukan kunjungan kerja saat reses.

"Baik praktik yang tersurat maupun tersirat, saya belum melihat optimisme untuk melakukan perubahan lebih baik bagi dewan yang ada sekarang. Ini menjadi tantangan kita bersama," ujarnya di Medan, Minggu (27/12).

Padahal, ujar politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) ini. Setiap anggota DPRD Sumut telah diberikan dana reses yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Dana yang didasarkan pada Surat Perintah Perjalan Dinas (SPPD) juga diberikan jika DPRD Sumut melakukan kunjungan kerja mengatasnamakan komisi. Namun sayangnya, perilaku menerima uang itu masih saja terjadi, seperti anggota Dewan sebelumnya. "Itu belum hilang dan masih saja terjadi. Walau pun ada orang-orang tertentu yang tidak terima, tapi mayoritas masih. Kalau mayoritas menolak pasti sudah hilang itu," katanya.

Undang-Undang (UU) Nomor 20/2001 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya sudah jelas mengatur bahwa pemberian dalam arti luas kepada penyelenggara negara merupakan gratifikasi. Gratifikasi ini bahkan bisa terindikasi suap jika berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Sudah merupakan kewajiban bagi penyelenggara negara untuk melaporkan gratifikasi yang diterima ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Seharusnya, tidak ada alasan bagi anggota Dewan untuk menerima uang dari pemerintah daerah maupun rekan kerja saat reses maupun kunjungan kerja. Jadi, keterbatasan dana yang diberikan terutama saat reses, bukanlah pembenaran untuk menerima uang. Karena seharusnya, saat reses dilaksakana, rakyat diberi pemahaman politik yang benar sehingga tidak memandang anggota Dewan sebagai sumber uang.

Partai politik juga perlu memberi penegasan kepada kadernya di parlemen agar tidak menerima uang. Selain itu, pemerintah daerah juga diharapkan bisa memahami bahwa pemberian uang bukan salah satu jalan dalam membina hubungan baik. "Kekurangan uang yang dimiliki anggota Dewan saat reses atau kunjungan kerja bukan alasan untuk menerima uang dari pemerintah daerah," katanya.
Diakuinya, permasalahan ini memang disebabkan ada dua pihak yang sama-sama berkepentingan. Artinya, pemerintah daerah memberikan uang itu tentu bukan tanpa alasan atau motivasi, sebaliknya anggota Dewan bersedia memerima juga mendapatkan keuntungan secara materi. "Ini memang ibarat angin. Bisa dirasakan tapi tidak tidak ada wujudnya. Sehingga sulit membuktikan. Makanya, sejak awal menjabat saya mengatakan pesismis kalau masih seperti ini londisinya. Karena jika pemberian itu dijadikan alasan untuk memperjuangkan daerah, kan aspirasi yang menjadi prioritas adalah rakyat, bukan pemerintah daerah," paparnya.

Untuk itu, diharapkan adanya wacana peningkatan pendapatan pejabat yang disampaikan pemerintah pusat beberapa waktu lalu bisa menjadi momentum agar anggota dewan tidak lagi menerima pemberian uang. "Semoga peningkatan kesejahteraan ini dapat mengatasi adanya anggota dewan yang masih menerima uang saat ini," ucapnya.
Minggu, 27/12/2009/Ukhti