Wednesday, September 22, 2010

FPKS Sesalkan DPRD Sumut Belum Punya Sikap Terkait Inalum

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) menyayangkan tindakan DPRD Sumut sebagai wakil rakyat yang belum mempunyai sikap atau masukan terkait pengambil alihan PT Inalum kepada pemerintah pusat.

Ketua FPKS DPRD Sumut, Hidayatullah,SE mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan sikap DPRD sumut yang terkesan tidak begitu peduli dengan proses pengambil alihan PT Inalum dari pemerintah Cina, karena buktinya sampai sekarang tidak ada sikap yang diajukan DPRD Sumut sebagai bentuk perwakilan yang menyampaikan aspirasi masyarakat dan keinginan masyarakat Sumut ke pemerintah pusat.

"Sampai sekarang DPRD Sumut belum punya sikap," ujarnya.

Seharusnya, meski DPRD sumut bukanlah sebagi eksekusi untuk memutuskan pengambil alihan PT Inalum tersebut. Namun karena PT Inalum berada di kawasan provinsi Sumut, maka seharunya sebagai wakil rakyat DPRD dapat memainkan perannya untuk menyampaikan saran/aspirasi yang diinginkan masyarkat ke pemerintah pusat. Sehingga kasus seperti persoalan bagi hasil PT Perkebunan yang terjadi saat ini tidak terulang kembali.

"Jangan seperti PTP, dulu waktu pembahasan tidak ada usulan yang disampaikan daerah, sekarang setelah ada peraturannya bru minta-minta bagi hasil. Jangan sampa sudah terlanjur baru kita kebakaran jenggot," ujarnya.

Jadi jika nantinya ada keputusan pusat yang tidak berpihak kepada Sumut, maka sangat wajar jika nantinya masyarakat marah kepada DPRD ini. Karena hal penting seperti ini tidak direspon cepat oleh anggota dewan yang ada.

Padahal tambah Hidayatullah,SE, pihaknya atas nama fraksi PKS pada 14 Juni lalu telah menyurati pimpinan dewan untuk mengusulkan pembentukan pansus yang akan membahas terkait keinginan masyarakat Sumut terhadap PT Inalum ini. Namun sayangnya tidak ada respon yang dilkukan. "kami tidak kecil hati jika tidak ditanggapi, tapi jika nanti masyarakat marah ke anggota dewan ini wajar," katanya.

Jika memang Sumut memiliki keinginan untuk penyertaan modal atau berkeinginan mengelola Inalum secara keseluruhan ini kan seharunya diperjuangkan ke pusat dengan persiapan yang matang. Sehingga pemerintah pusat dapat diyakini. "Makanya kami usulkan pansus ini, agar ada persiapan yang matang. namun melihat waktu yang ada sekarang, mungkin sudah terlambat untuk menyampaikan usulan dari daerah ke pemerintah pusat," terangnya.

Jumat, 17/9/2010/Ukhti

DPRD Sumut Belum Bekerja Sesuai Sistem

DPRD Sumut sampai sekarang belum bekerja sesuai dengan sistem yang ada, termasuk dalam hal penyusunan APBD Sumut 2011 yang sedang dalam proses pembahasan saat ini.

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPRD Sumut, Hidayatullah,SE mengatakan sampai sat ini, anggota dewan belum bekerja sesuai dengan sistem yang ada, termasuk dalam hal pembahasan APBD Sumut 2011 ini. Buktinya, jadwal tahapan-tahapan yang dilalui untuk pembahasan APBD Sumut berbeda tiap tahunnya.

"Sistem DPRD sumut yang ada saat ini belum jalan, buktinya saat ini pembahasan APBD Sumut masih ditingkat internal. Padahal awal September tahun lalu, APBD Sumut telah disahkan. Sehingga Pemprovsu bisa mendapatkan penghargaan sebagai provinsi kedua tercepat yang melakukan pengesahan APBD," ujarnya.

Padahal seharunya jika DPRD Sumut bekerja sesui sistem dan mampu menghasilkan prestasi seperti tahun lalu, hal itu bisa dipertahankan seterusnya. namun karena sistem belum dijalankan dengn baik maka hal itu tidk dapat berlaku.

Awal September lalu sebelum dilakukan pelantikan anggota DPRD Sumut periode 2009 -2014, APBD Sumut 2010 sudah disahkan. Tapi sekarang kan belum. Sehingga kesan bahwa pembahasan APBD Sumut 2010 oleh anggota DPRD Sumut periode lalu sengaja dikebut karena untuk mengejar faktor tertentu diakhir masa jabatan semkin kuat. "Karena jika sistem yang ada benar dijalankan, maka seharusnya tahun ini pembahasan APBD Sumut juga sudah selesai," ujarnya.

Namun nyatanya, saat ini pembahasan APBD Sumut 2011 masih ditingkat internal Badan Anggaran (banggar) dan masih harus melalui beberapa tahapan lagi seperti pengembalian KUAP PPAS yang sudah disahkan banggar kembali ke Pemprovsu, membuat nota keuangan, penyampaian melalui rapat paripurna dan beberapa hal lainnya. Sehingga realisasi paling cepat APBD Sumut selesai pada akhir Oktober mendatang. "Ini bukti bahwa perencanaan DPRD disusun masih asal-asaln dan belum sesuai sistem," katanya.
Bukti lainnya sistem belum dijalankan anggota DPRD Sumut dengan baik yaitu anggota dewan tidak pernah mempermasalahkan buku besar APBD sumut 2010 yang sampai sekarang tidak ada, karena yang ada hanya rancangan.

Padahal jika dikumen rujukan resminya tidak ada, maka ketidak tertiban ini membuka peluang bagi oknum - oknum tertentu untuk bermain. "Tidak perlu buku besar yang kamu bertanyakan dulu, cukup KUA PPAS yang resmi saja yaitu yang disepakti bersama dan diparaf oleh yang berhak dalam hal ini banggar. Karena nyatanya untuk KUA PPAS 2010 lalu saja, yang ada hanya penandatanggannya saja tanpa dilengkapi isi dokumennya pada saat penandatanganan," papar anggota Komisi C DPRD Sumut ini.

Jadi jika nantinya tandatangan yang disahkan tersebut ditempel dengan dokumen mana saja, maka tidak dapat dibuktikan bahwa dokumen itu asli apa palsu. Sehingga apapun yang datang dari Pemprovsu nantinya yang menyatakan bahwa itu adalah KUAP PPAS APBD Sumut 2010 maka tidak bisa dibantahkan.

"Mau nggak mau, apapun yang disampaikan harus diakui. Karena kami nggak tahu aslinya ada di mana," katanya.

Seharusnya kedepan ini jadi pelajaran bagi anggota DPRD Sumut untuk bekerja sesuai dengan sistem dan mengikuti aturan yang ada.

Jumat, 17/9/2010/Ukhti

Kontribusi PAD Bank Sumut Dipertanyakan

Sebagai salah satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Bank sumut didesak untuk memberikan kontribusi langsung terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Sehingga mampu memberikan manfaat kepada masyarakat melalui peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumut.

Anggota Komisi C DPRD Sumut, Hidayatullah,SE mengatakan jika dinilai dengan standar umum yang ada, dilihat dari kualitas kondisi Bank sumut memang sehat. Bahkan lebih baik dari kondisi rata-rata bank lainnya. Namun karena posisi Bank Sumut pada saat bersamaan tidak hanya sebatas sebagai bank saja, tapi juga sebagai salah satu BUMD dimana ada penyertaan modal yang diberikan Pemerintah Provinsi Sumut (Pemprovsu). Maka wajar jika ada harapan besar terhadap Bank sumut terutama untuk meningkatkan jumlah PAD Sumut.

"Bank Sumut harus lebih beri dampak kepada masyarakat Sumut, tidak hanya untuk segi ekonomi tapi harus ada kontribusi PAD," ujarnya pada saat rapat dengar pendapat antara Komisi C DPRD Sumut dan PT Bank Sumut, di Gedung DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol Medan, Selasa (21/9).

Karena meski selama ini kualitas Bank Sumut sebagai bank sudah sehat dan tidak jauh berbeda dengan bank-bank umum lainya. Namun sebagai BUMD belum memberikan kontribusi atau keuntungan untuk Sumut. Padahal pembentukan BUMD ini bertujuan untuk meningkatkan PAD, karena kedepan Sumut tidak hanya dapat berharap dari pajak kendaraan bermotor saja.

"Jika tidak ada kontribusi langsung yang bisa diberikan dalam bentuk PAD, maka bisa dibilang kami lebih respek dengan bank umum lainnya dibandingkan Bank Sumut. Karena kalau Bank sumut ada penyertaan modal yang harus dikeluarkan, sedangkan bank umum lainnya tidak ada. Tapi kontribusi untuk Sumut sama saja, hanya meningkatkan kondisi
perekonomian saja tidak memberikan efek langsung untuk peningkatan PAD," terangnya.

Untuk itu, perlu ada keseimbangan atara penyertaan modal yang diharapkan dari Pemprovsu dengan kontribusi yang mampu diberikan Bank sumut ke PAD. Jika tidak, maka perlu dilakukan evaluasi apakah kehadiran Bank Sumut ini memberikan keuntungan untuk PAD atau hanya membebankan APBD Sumut.

"Kami dari Komisi C ingin meminta kejelasan kapan Bank sumut ini mampu beri kontribusi langsung ke PAD. Karena BUMD yang ada harus memberikan kontribusi jelas ke PAD," katanya.

Politisi dari FPKS ini juga menambahkan bahwa pihaknya sangat setuju jika Bank sumut ingin terus berkembang besar dengan meminta tambahan modal, namun jangan lupa dengan perannya sebagai BUMD. Selama ini Bank sumut masih gagal memberikan PAD, seharusnya jika mengambil uang rakyat melalui APBD maka harus jelas kapan mau dikembalikan

"Rencana regional campion yang diwacanakan Bank sumut memang bagus untuk meningkatkan pertumbuhan bank, tapi sepertinya ini malah juga meminta tambahan modal bukan menyumbang PAD," katanya.

Menanggapi hal ini, Direktur Utama PT Bank Sumut, Gus Irawan Pasaribu membantah jika pihaknya tidak memberikan kontribusi ke PAD Sumut. Karena berdasarkan pembukuan 2005 - 2008 telah ada pembagian deviden yang dilakukan sebesar Rp 293 miliar dan ditahun 2009 sebesar Rp 295 miliar yang masuk dalam PAD sebagai sumber deviden saham bank sumut.

Namun deviden tersebut memang kemudian dikelurkan lagi untuk digunakan sebagi penambahan modal saham di Bank Sumut. "Kami ada berikan kontribusi ke PAD, namun memang tidak langsung untuk masyarakat. Karena digunakan untuk penambahan modal guna meningkatkan pertumbuhan Bank Sumut. Tapi kan jika dibandingkan BUMD lainnya, mana ada yang bisa memberikan PAD besar ke Pemprovsu selain Bank Sumut," terangnya.

Sebagai Dirut, ujar Gus Irawan, dirinya hanya bertugas untuk membawa Bank Sumut ini tumbuh berkembang dengan peningkatan kinerja terbaik, yaitu dengan peningkatan laba, dan volume usaha. Jadi bukan memikirkan apakah kontribusi yang diberikan Bank sumut ini langsung untuk ke masyarakat atau tidak.

"Sebagai perbakkan kondisi kita jauh diatas rata-rata perbankan yang ada. Ini tugas saya sebagi manajemen pengelola Bank Sumut. Jadi walaupun kami tidak langsung beri kontribusi, tetap ada yang kami berikan untuk masyarakat Sumut," ujarnya.

Selasa, 21/9/2010/Ukhti

Tuesday, September 21, 2010

DPRD Sumut Desak Usut Kasus Kebocoran Pipa Pertamina

DPRD sumut mendesak agar pihak keamanan khususnya kepolisian dapat segera mengusut tuntas kasus kebocoran minyak pipa PT.Pertamina yang sudah berlangsung tahunan tersebut. Karena kerugiaan yang dialami negara mencapai ratusan milir akibat hal tersebut.

Wakil Ketua Komisi B DPRD Sumut, Muhammad Nasir mengatakan, berdasarkan pengakuan yang disampaikan DM PT.Pertamian dan pantauan yng dilakukan pihaknya ke lapangan, maraknya pencurian minyak melalui pipa-pipa milik PT.Pertamina seperti di kawasan daerah Belawan telah merugikan negara ratusan miliar pertahunnya.

Namun anehnya, meski telah berlangsung lama pelaku intelektual yang melakukan pencurian ini tidak pernah tertangkap. Sehingga adanya indikasi bahwa ada oknum pejabat baik dari kalangan PT.Pertamina maupun keamanan sendiri yang terlibat.

"Kami sangat menyesalkan kasus yng sudah berlangsung tahunan dan merugikan negara miliaran rupiah pertahun ini tidak bisa diungkap dan ditanggani secar serius," ujarnya.

Untuk itu, pihaknya mendesak agar kasus pencurian ini dapat ditanggani secara serius. Kenapa kasus pencurian seperti di Bank CIMB Niaga yang berlangsung beberapa waktu lalu bisa ditangani secara serius, namun kasus pencurian ratusan miliar seperti ini tidak bisa. "Kami harap proses hukum terkait pencurian ini dapat terus dilakukan dan mengungkap siapa pelakunya," katanya.

Selain itu, pihaknya berharap jajaran PT.Pertamina juga tidak takut untuk menyampaikan informasi terkait pencurian ini. Karena jika hal ini ditutupi dari publik, maka kecurigaan masyarakat bahwa pihak pertamina terlibat semakin kuat. "Kami harap semua pihak memiliki tanggungjawab moral untuk mengungkap kasus ini," katanya.

Anggota FPKS DPRD Sumut ini juga menambahkan, untuk membahas permasalahan kebocoran minyak ini secara serius. Pihaknya juga akan kembali melakukan rapat dengar pendapat gabungan antara komisi B dan A DPRD Sumut serta pihak terkait lainnya seperti Kapolda, dan Pangdam pada 5 Oktober mendatang. Dimana hasil pembahasan ini nantinya selain akan dibentuk Panitia Khusus (Pansus), juga akan ada kesimpulan yang disampaikan ke pemerintah pusat.

Dari hasil pantauan yang dilakukan pihaknya ke lapangan seperti di daerah Bagan Deli, pengawasan yang dilakukan untuk mengmankan pipa-pipa yang menyalurkan minyak milik PT Pertamina tersebut juga tidak maksimal, sehingga memudahkan pelaku-pelaku yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan pencurian. "Pengakuan PT Pertamina memang ada pengamanan dan pengawasan, tapi sangat tidak memadai," ujarnya.

Ditambahkan Ketua FPKS DPRD Sumut, Hidayatullah,SE, besarnya jumlah kebocoran akibat pencurian ini mungkin juga menjadi salah satu penyebab program subsidi pemerintah cepat habis. Untuk itu perlu diusut secara serius dan tuntas.

"Ini baru di tingkat kawasan Medan saja yang kerugiannya hingga miliaran rupiah, sedangkan pipa penyaluran minyak PT Pertamina ini masih banyak dikawasan lainnya dan tidak menutup kemungkinan kebocoran juga terjadi. Makanya harus diusut secara serius jangan sampai merugikan negara lebih besar," ujarnya.

Selasa, 21/9/2010/Ukhti

Tuesday, April 27, 2010

Selesaikan Kasus Pengangkatan Honorer Guru di Sumut DPRD Sumut Desak Pengesahan RPP

Untuk menyelesaikan kasus pengangkatan tenaga honorer guru baik yang dibiayai APBD/APBN maupun honorer non APBD/APBN menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumut melalui Komisi A akan mendesak DPR RI untuk segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur tentang proses pengangkatan tersebut, yang saat ini sedang dibahas oleh Komisi II DPR RI.

Demikian disampaikan anggota Komisi A DPRD Sumut, Hj. Nur Azizah Tambunan, S.S, usai rapat dengar pendapat antara Komisi A DPRD Sumut, BKD Sumut, dan Forum Komunikasi Tenaga Honorer Sekolah Negeri (FKTHSN) SKPD Sumut di Gedung DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol Medan, Selasa (20/4).

Menurut Hj. Nur Azizah Tambunan, S.S, permasalahan belum diangkatnya sebagian besar guru honorer yang memiliki Surat Keputusan (SK) menjadi tenaga honorer sejak 2005 ini disebabkan karena minimnya informasi yang disampaikan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) kabupaten/kota terkait syarat-sayarat untuk diangkat menjadi CPNS. Sehingga mereka tidak masuk dalam proses pendataan yang dilakukan pemerintah pada 2005 - 2006 lalu sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS.

"Rata-rata dari mereka mengaku tidak mengetahui adanya pendataan yang dilakukan pemerintah terhadap para honorer yang telah memiliki SK pada 2005 lalu. Karena informasi dari BKD kabupaten/kota juga minim, jadi syarat-syarat yang harus dilengkapi juga tidak mereka ketahui," ujarnya.

Selain itu, BKD kabupaten/kota juga tidak menginformasikan bahwa berdasarkan PP tersebut yang diangkat menjadi PNS hanya tenaga honorer yang dibiayai oleh APBD/APBN. Sedangkan diluar itu tidak ada pengangkatan. "Makanya tenaga honorer yang mayoritas non APBD/APBN yang telah bekerja puluhan tahun ini merasa didiskriminasikan. Karena guru bantu yang baru mengabdi 3 tahun saja sudah diangkat," katanya.

Untuk itu, para tenaga guru honorer ini meminta agar Komisi A DPRD Sumut dan BKD Pemprovsu dapat mendesak Komisi II DPR RI untuk segera mengesahkan RPP yang mengakomodir aspirasi tenaga honorer yang ingin diangkat menjadi PNS tersebut.
"Jadi rencananya bulan depan kami bersama BKD Pemprovsu akan ke DPR RI dan Menteri Aparatur Negara untuk membahas masalah ini. Dan menekankan agar RPP segera disahkan dan isinya juga harus mengakomodir kepentingan para honorer ini. Khususnya yang dibiayai non APBD/APBN," ucapnya.

Selain minimnya informasi yang disampaikan BKD kabupaten/kota terhadap tenaga honorer ini. Pihaknya juga sangat menyayangkan sikap BKD Provinsi dalam melakukan pengawasan. "Seharusnya BKD Provinsi dapat lebih tegas melakukan pengawasan terhadap kabupaten/kota. Sehingga tidak ada yang dirugikan, karena kenyataannya BKD Provinsi juga tiodak memiliki data pasti berapa sebenarnya jumlah guru honorer di Sumut yang belum diangkat," katanya.

Ditambahkan Nur azizah, seharusnya untuk menyelesaikan masalah pengangkatan tenaga honorer ini dapat diselesaikan tidak hanya dengan menunggu disahkannya RPP yang sedang dibahas sesuai dengan amanah PP Nomor 48/2005 Junto PP Nomor 43/2007 saja. Namun dapat dilakukan dengan menerapkan kebijakan kusus berupa memberi porsi bagi tenaga honorer agar dapat diterima dalam setiap proses pengangkatan CPNS tiap tahunnya yang dilakukan kabupaten/kota.

Sebelumnya, Ketua FKTHSN SKPD Sumut, Andi Subakti SAg meminta agar Komisi A DPRD sumut dapat mendesak pemerintah pusat untuk segera menyelesaikan pengangkatan guru honorer ini. Karena selain belum jelasnya nasib mereka, para guru honor ini juga semakin dipersulit dengan adanya penerapan sertifikasi yang ditetapkan oleh pemerintah.
"Karena sertifikasi mewajibkan setiap guru mengajar 24 jam, maka banyak guru-guru disekolah negeri yang berlomba - lomba untuk mengajar dan ini menyulitkan kami sebagai tenaga honorer," katanya.
Selasa, 20/4/2010/Ukhti

Tuesday, February 23, 2010

Minimnya Anggaran Sumber masalah Kesehatan Di Sumut

Walaupun telah ada Peraturan Daerah (Perda) Sumut Nomor 2/2008 tentang Sistem Kesehatan Provinsi yang menyatakan bahwa APBD provinsi maupun kabupaten/kota minimal mengalokasikan anggaran untuk kesehatan sebesar 15 persen. Namun nyatanya sumber permasalahan belum dapat teratasinya masalah kesehatan secara maksimal masih disebabkan karena minimnya jumlah anggaran yang ada.

Demikian disampaikan anggota Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumut, Timbas Tarigan, A.Md usai melakukan kunjungan kerja Komisi E DPRD Sumut ke Langkat dan Binjai pada 17 - 18 Februari, Sabtu (20/2).

Menurut Timbas Tarigan, A.Md, dari hasil laporan yang disampaikan pada saat kunjungan yang dilakukan Komisi E DPRD Sumut ke Langkat dan Binjai, terbukti bahwa minimnya jumlah anggaran masih menjadi sumber masalah yang menyebabkan pelayanan kesehatan di Sumut belum maksimal diberikan kepada masyarakat.

"Sampai sekarang, kami melihat bahwa belum ada singkronisasi antara visi-misi Gubsu untuk membuat rakyat tidak sakit dengan realisasi anggaran yang ada. Khawatirnya kalau ini tidak segera diatasai, maka visi-misi tersebut hanya sebatas ilusi saja," ujarnya.

Masalnya saja di Langkat, dengan daerah yang begitu luas. Anggaran yang dialokasikan untuk Dinas Kesehatan (Dinkes) hanya sebesar Rp 1,2 miliar pada APBD Langkat 2009, sehingga fasilitas kesehatan tidak dapat disediakan secara keseluruh di kecamatan yang ada. Padahal jarak antara satu daerah dengn daerah lainnya cukup luas.

"Malahan Rumah Sakit Umum (RSU) bukan berada di kabupaten Induk Stabat,
tapi malahan berada di Tanjung Pura," ucapnya.

Selain itu, fasilitas sumber daya manusia (SDM) maupun alat medis di RSU Tanjung Pura tersebut juga tidak memadai. Padahal telah masuk dalam kategori RSU kelas B. Misalnya saja, seperti tidak adanya dokter bedah di RSU Tanjung Pura tersebut, yang ada hanya dokter bedah yang sifatnya konsultasi (tidak tetap). Seharusnya sebagai RSU kelas B, salah satu syarat yang dimiliki adalah harus memiliki dokter bedah tetap.

"Jadi walaupun telah masuk sebagai RSU kelas B, tapi nyatanya juga belum memenuhi syarat. Ini dilaporkan karena minimnya jumlah dukungan anggaran baik dari APBD provinsi maupun kabupaten Langkat sendiri," ujarnya.

Belum lagi, dengan jumlah anggaran yang terbatas untuk kesehatan di Langkat juga berimbas pada minimnya jumlah honor yang dapat diberikan kepada tenaga medis kontrak yang ada di RSU tersebut, yaitu hanya Rp 500 ribu perbulan. "Kalau kesejahteraan mereka saja masih menyulitkan, bagaimana mereka bisa melayani pasien secar profesional," katanya.

Walaupun memang karena hanya ada satu RSU di Langkat, Dinkes mengatasinya dengan menyediakan layanan Puskesma 24 Jam. Namun karena jumlah anggaran yang minim maka jumlahnya terbatas, jadi juga tidak mampu melayani kesehatan masyarakat secara menyeluruh.

Tidak jauh berbeda, tambah Timbas Tarigan, A.Md, jumlah anggaran yang minim juga menjadi masalah untuk mengatasi persoalan kesehatan di Binjai, anggaran 2009 hanya sekitar Rp 1 miliar. Namun karena luas daerahnya yang tidak begitu luas, maka masalahnya tidak serumit di Langkat. Selain itu, RS swasta juga banyak, jadi bisa mengcover kebutuhan rumah sakit di Binjai

"Kalau di Binjai juga sangat diperlukan peningkatan kecakapan pelayanan kesehatan dan penambahan fasilitas. Ini jugakan perlu anggaran yang tidak sedikit," katanya.

Untuk itu, dengan berbagai masalah kesehatan yang ada. Maka sangat dibutuhkan perhatian yang lebih fokus dari pemerintah Kabupten/kota maupun Pemprovsu, khususnya Gubsu untuk mengatasi masalah minimnya jumlah anggaran ini. "Kita harus mampu meliht persoalan di Sumut ini secara lebih fokus, dan kami dari Komisi E juga akan terus berusaha untuk melakukan pengawasan dan perbaikan kesehatan. Terutama menyangkut jumlah alokasi anggaran di APBD Pemprovsu," paparnya.
Sabtu, 20/2/2010/Ukhti

Perhatian Pemprovsu Terhadap Rumah Sakit Haji Masih Minim

Perhatian Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) yang masih minim terhadap Rumah Sakit Haji Medan sangat disayangkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumut. Padahal sebagai rumah sakit yang bersifat yayasan tersebut, Ketua langsung dijabat oleh Gubernur Sumut (Gubsu) Syamsul Arifin secara eksopisio.

Demikian disampaikan anggota Komisi E DPRD Sumut, Bapak Timbas Tarigan, A.Md disela-sela rapat dengar pendapat antara Komisi E DPRD Sumut dengan Pengelola Rumah Sakit Haji Medan, di Gedung DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol Medan, Selasa (16/2).

Menurut Timbas Tarigan, A.Md, sebagai salah satu rumah sakit yang 70 persen lebih
melayani pasien Jamkesmas di Sumut, maka seharusnya perlu ada perhatian yang lebih besar. Khususnya dari segi anggaran. Karena selama ini, tidak ada sumber anggaran tetap yang dialokasikan untuk rumah sakit tersebut, baik yang berasal dari APBD sumut maupun sumber lainnya.

"Selama ini, pelayanan rumah sakit haji ini sudah cukup maksimal. Seharusnya Pemprovsu dan Gubsu sebagai Ketua yayasan dapat memberikan perhatian khusus, terutama soal pendanaan," ujarnya.

Selain itu, dari kondisi pelayan yang selama ini dapat dikatakan sudah baik padahal tidak ada sumber pendanaan yang tetap dan letaknya yang stategis. Seharusya dapat dijadikan peluang bagi Pemprovsu untuk menjadikan rumah sakit haji ini sebagai rumah sakit umum milik Pemprovsu.

"Sampai sekarangkan Sumut gak punya rumah sakit umum yang merupakan milik Pemprovsu. Jadi kenapa tidak Rumah Sakit Haji ini saja yang dapat dimanfaatkan secara maksimal. Karena dari empat rumah sakit haji yang ada di Indonesia, salah satunya yang di Surabaya juga telah diambil alih oleh Pemda setempat," terangnya.

Untuk itu, ujar Timbas Tarigan, A.Md. Komisi E DPRD Sumut akan segera melakukan pertemuan dengan pihak yayasan, pengelola Eumah Sakit Haji Medan, Kandepag, dan Dinas Kesehatan sumut untuk membahas masalah pendanaan ini. "Dalam waktu dekat kami akan lakukan pertemuan untuk membahas terkait anggaran ini," katanya.

Direktur Rumah Sakit Haji Medan, dr. H. MP Siregar, SKm meyatakan, sampai sekarang pihaknya belum mendapatkan sumber anggaran tetap, baik yang berasal dari APBD Sumut maupun sumber lainnya. Sehingga tidak jarang untuk memenuhi kebutuhan biaya operasional selama ini, pihak pengelola harus melakukan pinjaman. "Sumber pendanaan kami selama ini hanya berasal dari pasien saja. Baik Jamkesmas maupun umum," katanya.

Memang pada 2009 lalu, ada bantuan sebesar RP 3,8 miliar dari APBD Sumut, dan Rp 806 juta dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam bentuk peralatan. Tapi bantuan seperti itu tidak tiap tahun ada secara rutin. "Ada bantuan dari pemerintah, tapi tidak rutin," katanya.

Padahal untuk meningkatkan pelayana terhadap pasien, pihaknya sangat membutuhkan 160 tempat tidur dan bangunan kamar lagi. Karena kapasitas kamar yang berjumlah 234 yang ada saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk menerima pasien yang ada berobat ke Rumah Sakit Haji Medan. " Kami sangat butuh anggaran," ujarnya.
Selasa. 16/2/2010/Ukhti

Tuesday, February 16, 2010

DPR RI, Masalah Pasti Dibawa Ke Pusat

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dedi S Gumelar mengatakan, pihaknya sangat banyak menerima laporan masalah dari daerah. Padahal seharusnya hal itu menjadi wewenang daerah untuk menyelesaikannya karena sudah merupakan domainnya otonomi daerah, namun nyatanya juga dilaporkan ke pusat.
"Dalam konteks otonomi daerah seperti sekarang, banyak persoalan daerah yang harusnya domainnya otonomi. Namun nyatanya persolannya tetap dilempar juga ke pusat," ujarnya disela-sela menerima guru tenaga honorer yang tergabung dalam Forum Komunikasi Tenaga Honorer Sekolah Negeri (FKTHSN) Sumut dan Komisi E DPRD Sumut, di Gedung DPR RI Jakarta, Jumat (12/2).

Menurut Dedi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mi'ng ini, banyak persoalan yang terjadi di daerah yang dilaporkan ke pusat namun belum dapat terselesaikan sampai sekarang. Karena persoalan yang ada tidak hanya sebatas merupah pasat atau aturan yang ada, tapi harus dicari solusi yang memang betul-betul tepat.
"Negara ini memang sedang menghadapi persoalan yang sangat banyak. Tidak hanya soal masih banyaknya guru honor yang belum diangkat, tapi di semua bidang ada masalah. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa persoalan guru honor saat ini jumlahnya lebih banyak," ucapnya.

Lebih lanjut dikatakannya, umumnya persoalan ini disebabkan karena daerah yang memulainya. Misalnya saja seperti penerimaan CPNS dilakukan di daerah, tidak jarang dilakukan kolusi antara para penguasa di daerah dengan calon peserta CPNS. "Seperti di daerah pemilihan tempat saya di Banten. Soal kompetisi itu bisa nomor tujuh, tapi yang penting adalah siapa yang mampu menyediakan uang Rp 40 juta - Rp 50 juta," ucapnya.

Selain itu, dalam penempatan PNS di masing-masing satuan perangkat kerja daerah juga terjadi masalah. Sebab diputuskan karena adanya kedekatan, padahal tidak kompeten. Sehingga ada Kepala Dinas yang tidak miliki kompetensi tapi diangkat.
"Ini persoalan-persoalan politik di daerah yang menyebabkan masalah. Karena dengan adanya kekuasaan otonomi daerah banyak pemimpin daerah yang sesukanya mengunakan kekuasaannya, tapi begitu ada persoalan dilemparkan ke pusat," paparnya.

Senada, anggota Komisi X DPR RI, Wayan Koster juga menyatakan, karena adanya manipulasi data dari pemerintah daerah, dimana data awal tenaga honorer hanya 800 ribuan orang membengka menjadi 920 ribuan orang yang telah disertai dengan SK pengangkatan yang diberlakukan surut. Menyebabkan pengangkatan guru tenaga honorer sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) 48/2005 junto PP 43/2007 tentang sistem pengangkatan tenaga honorer yang dilakukan tanpa tes tidak dapat berjalan dengan maksimal.


"Penuntasan pengangkatan tenaga honorer sampai sekarang baru terselesaikan sekitar 800 ribuan orang, sedangkan sisanya ada sekitar 80 ribuan yang masuk data best untuk diangkat tapi ternyata tidak memenuhi syarat seperti yang tertera di PP," terangnya.
Ditambahkan Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Ganjar pranowo, banyak permasalahan yang timbul saat ini karena disebabkan birokrasi yang tidak berjalan dengan baik dan semestinya. Untuk itu, harus ada pengawasan dan reformasi birokrasi yang dilakukan di masing-masing daerah."DPRD Sumut, pulang dari sini diharapkan bisa langsung meminta format birokrasi yang ada di Pemprovsu. Jadi pengawasan juga dapat dilakukan dengan mudah. Kalau ada yang berjalan tidak sesuai dengan format, kan bisa langsung diambil tindakan," ucapnya.


Menanggapi hal ini, anggota Komisi E DPRD Sumut, Timbas Tarigan, A.Md menyatakan banyaknya daerah yang melaporkan masalah ke pusat juga disebabkan karena masih banyaknya aturan yang dibuat oleh pemerintah pusat yang tidak jelas, sehingga masih bisa dimainkan oleh pemerintah daerah. Untuk itu, seharusnya pusat juga harus betul-betul membuat aturan yang tegas."Masih banyak aturan yang dibuat pusat terdapat pasal karet, makanya bisa dimainkan. Jadi, baik pusat maupun daerah belum maksimal untuk menyelesaikan masalah yang ada," katanya.Jumat, 13/2/2010/Ukhti

Monday, February 15, 2010

2010, Tiga Seleksi Penerimaan Guru Honorer jadi PNS

Untuk menyelesaikan banyaknya jumlah tenaga guru honorer yang belum diangkat totalnya 946 orang guru secara nasional. Maka akan ada tiga jenis seleksi yang akan dilakukan untuk mengangkat tenaga honorer tersebut menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di tahun 2010 ini. Demikian disampikan anggota Komisi X DPR RI, Wayan Koster, saat menerima rombongan Komisi E DPRD Sumut, Dinas Sosial Pemerintahan Provinsi Sumut (Pemprovsu) dan Forum Komunikasi Tenaga Honorer Sekolah Negeri (FKTHSN) Sumut, di Gedung DPR RI Jakarta, Jumat (12/2).

Komisi E DPRD Sumut yang hadir yaitu Ketua Komisi Brilian Mochtar, anggota Komisi yaitu Timbas Tarigan,A.Md, Muslim Simbolon, Siti Aminah,Amp, SPdI, Arlena Manurung, dan Rahmiannah Delima Pulungan. Serta dua Staf Dinas Sisial Pemprovsu H M Hatta Siregar, Marion Ginting, dan beberapa guru honorer.

Menurut Wayan, terkait permasalahan tenaga guru honorer dan tenaga honorer secara umum, pihaknya sedang membahas kebijakan untuk menyeleesaikan permasalahan ini secara keseluruhan dengan membentuk panitai gabungan antara komisi II, VIII dan X yang bekerjasama dengan beberapa departemen yaiyu Departemen pendidikan, kesehatan, pertanian, kepegawaian dan beberapa lainnya. Dimana dari koordinasi terakhir yang dilakukan, akan ada tiga cara yang akan digunakan untuk mengangkat tenaga honorer guru menjadi PNS.
Yaitu dengan cara reguler melalui tes ujian penerimaan CPNS formasi 2010, tanpa tes sesuai dengan yang diatur dalam Perarturan Pemerintah (PP) 48/2005 junto PP 43/2007 tentang sistem pengangkatan tenaga honorer, dan seleksi yang dilakukan oleh sesama honorer.

"Berdasarkan data yang kami terima 2010 ini, totalnya ada sebanyak 946 ribu guru honorer yang harus diangkat jadi PNS. Ini belum tentu semuanya dapat diselesaikan 2010 inikan," ujarnya didampingi anggota Komisi X DPR RI Dedi S Gumelar dan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ganjar Pranowo.

Untuk yang tanpa tes (diangkat otomatis), yaitu bagi para guru tenaga honorer yang memenuhi syarat sesuai yang diatur dalam PP 48/2005 junto PP 43/2007, dimana guru honor tersebut memiliki masa kerja satu tahun pada 31 Desember 2005 yang dibuktikan dengan surat keputusan (SK) pengangkatan oleh instansi pemerintah (kepala sekolah negeri maupun dinas pendidikan), baik yang dibiayai oleh APBD maupun APBN, dan usia maksimal 48 tahun.
"Untuk latar belakang pendidikan, tidak jadi masalah," katanya.
Dimana sebenarnya untuk yang tanpa tes ini telah dilakukan pengangkatan tenaga honorer secara bertahap sejak tahun 2005. Namun karena ada manipulasi data yang dilakukan daerah, dimana data awal tenaga honorer hanya 800 ribuan orang membengka menjadi 920 ribuan orang yang telah disertai dengan SK pengangkatan yang diberlakukan surut. Sehingga penuntasan pengangkatan tenaga honorer sampai sekarang baru terselesaikan sekitar 800 ribuan orang, sedangkan sisanya ada sekitar 80 ribuan yang masuk data best untuk diangkat tapi ternyata tidak memenuhi syarat seperti yang tertera di PP, ada pemerintah daerah yang tidak mau untuk mengangkat guru tenaga honor seperti di DKI dan ada juga guru yang belum bisa diangkat karena nomor induk pegawainya (NIP) belum bisa dikeluarkan karena guru yang bersangkutan belum melengkapai syarat administrasi secara keseluruhan.

"2010 ini, guru tenaga honorer yang sudah memenuhi syarat sesuai PP ini yang diutamakan untuk diangkat yaitu ada sekitar 105 ribu orang. Baik yang sudah masuk dalam data best maupun yang masih tercecer atau belum terakomodir, yaitu bagi guru yang belum terdata karena pada saat pendataan laporan membengkak membuat pemerintah memutuskan untuk menutup laporan data best dari daerah. Sehingga ada guru honor yang tidak terdata, padahal ia sudah memenuhi syarat," ujarnya.

Untuk itu, pihaknya mengimbau para guru dapat segera mendata namanya di Dinas pendidikan terkait apakah termasuk dari 105 data best yang diterima DPR RI saat ini. "Kami anjurkan, karena bapak dan ibu guru juga ada di Jakarta. Maka baiknya juga menyampaikan data jumlah guru honor di Sumut ini ke BKN dan Departemen Kepegawaian," katanya.

Selain itu, 2010 ini juga akan ada pengangkatan guru tenaga honor menjadi PNS dengan sistem seleksi yang dilakukan oleh sesama honorer. Dimana yang diangkat tidak hanya tenaga honorer yang dibiayai APBN atau APBD, tapi diluar itu juga dapat diangkat menjadi PNS selama SK pengangkatannya menjadi honor dilakukan oleh instansi pemerintah (Kepala Sekolah maupun Dinas terkait) dan batasan masa tugas yaitu minimal harus sudah bertugas satu tahun pada 1 Januari 2006 atau 31 Desember 2005. Untuk sistem ini Panitia gabungan komisi DPR RI sedang mempersiapkan PP yang baru.

"Jadi guru honor yang diangkat oleh Dinas Pemerintah tapi diperbantukan di sekolah swasta bisa diangkat jadi PNS. Tapi kalau guru honor yang diangkat oleh sekolah swasta/yayasan dan biayanya juga oleh swasta, itu tidak bisa diangkat jadi PNS. Totalnya alokasi yang akan diterima untuk jalur ini belum dapat kami pastikan karena harus didata lagi," terangnya.

Sedangkan jika ternyata masih tetap ada guru tenaga honor yang tidak bisa diangkat berdasarkan ketiga cara diatas karena tidak memenuhi syarat, Wayan menyatakan tenaga honor tersebut akan diangkat menjadi pegawai tidak tetap dengan pendekatan kesejahteraan yaitu gaji tenaga honorer berdasarkan upah minimum regional atau memenuhi kebutuhan sehari - hari guru yang bersangkutan, dan tunjangan kesehatan.
Ketua FKTHSN Sumut, Andi Subakti menuntut agar ribuan guru honorer yang belum bisa diangkat karena terkendala PP 48/2005 junto PP 43/2007 dapat segera diangkat. Karena jika dihitung, rata-rata guru honor yang ada sebenernya telah bekerja lebih dari lima tahun.

"SK kami ada yang Januari sampai April 2005, tapi kalau berdasarkan PP itu kan seharusnya SK paling lambat Desember 2004 dan pemerintah sudah dilarang menerima tenaga honorer lagi. Namun kenyataanya kan pengangkatan honorer tetap terjadi dan kami sudah bekerja lima tahun. Makanya kami minta proses pengangkatan kami dapat juga sama dengan guru honor 2004," paparnya.

Sementara itu, Ketua Komisi E DPRD Sumut, Brilian Mocktar menyatakan banyaknya permasalahan guru honor di Sumut dan daerah lain di Indonesia ini terjadi karena Badan Kepegawaian DAerah (BKD) tidak bekerja sesuai aturan yang ada. "Ini bukti bobroknya BKD Pemprovsu yang harus kami awasi kinerjanya," ujarnya.
Selain terkait masalah guru honor, Komisi E DPRD Sumut juga mempertanyakan semakin minimnya anggaran yang bersumber dari APBN ke Sumut, khususnya untuk Dinas Kesehatan Pemprovsu yaitu 2007 Rp 108 miliar, 2008 Rp 79 miliar, dan 2009 semakin menurun menjadi Rp 48 miliar. "Padahal masalah kesehatan sangat diperioritaskan bagi Sumut. Kami juga ingin mempertanyakan ini," ujar Brilian
Terkait masalah anggaran ini, anggota DPR RI yang menerima rombongan akan menyampaikannya ke Komisi IX sebagai komisi yang membidangi anggaran.
Jumat, 12/2/2010/Ukhti

Tuesday, February 2, 2010

PT.JAYA KONTRUKSI MANGGALA PRATAMA TBK HARUS BERTANGGUNG JAWAB

Terkait peristiwa jatuhnya pekerja bangunan gedung DPRD SU (21/1) Siswo (40) asal Solo, komisi E DPRD SU bertemu PT.Jaya kontruksi,pihak Jamsostek dan Dinas Tenaga Kerja mempertanyakan dan membahas pertanggung jawaban atas peristiwa yang dialami Siswo yang ternyata tidak menerima asuransi dari Jamsostek pada Rabu(03/2)diruang komisi E gedung DPRD SU.
Anggota komisi E Ibu Siti Aminah, Amp, S.PdI mengatakan usai pertemuan tersebut bahwa pihak PT. Jaya Konstruksi harus bertanggung jawab penuh atas kecelakaan kerja yang terjadi pada pekerjanya demikian juga pihak jamsostek. pihak-pihak terkait harus menyelesaikan persoalan tersebut sesuai undang-undang yang berlaku dan rasa kemanusiaan.

Dalam pertemuan tersebut berdasarkan keterangan pihak Jamsostek terungkap bahwa PT.Jaya Kontruksi hanya mendaftarkan 35 orang yang merupakan tenaga kerja dari Medan sedangkan yang 95 orang lagi berasal dari Jawa tidak didaftarkan, sehingga Siswo harus membayar biaya perawatan di R.S Malahayati mencapai Rp.20 juta yang juga diakui oleh pihak PT.Jaya kontruksi. Dengan kondisi itu oleh pihak keluarga siswo dibawa ke solo padahal berdasarkan kondisi kesehatannya masih harus dirawat.

"PT.Jaya Kontruksi harus bertanggung jawab penuh membiayai pengobatan korban sampai sembuh" demikian ungkap siti aminah, S.PdI yang merupakan anggota fraksi PKS DPRDSU. "Kesediaan pertanggung jawaban harus dibuat dalam perjanjian tertulis dihadapan Anggota dewan DPRDSU pada hari senin tanggal 8 Feruari yang akan datang dan penandatanganannya dilakukan oleh GM dari PT.Jaya Kontruksi sekaligus menjelaskan mengenai kejadian yang sangat tragis dialami oleh tenaga kerja tersebut". tambahnya. Rabu,03/02/2010/Am/Az/Vo

Sunday, January 24, 2010

Anggaran Kesehatan Minim DPRD Sumut Datangi Pemerintah Pusat

Sesuai visi-misi Gubernur Sumut (Gubsu), H. Syamsul Arifin, SE membuat masyarakat tidak sakit, namun dengan kondisi APBD Sumut yang hanya mengalokasikan anggaran sekitar 3,54 persen dari total anggaran sebesar Rp 3,7 triliun, maka sangat perlu adanya penambahan angaran yang berasal dari APBN. Untuk itu, agar adanya peningkatan jumlah anggaran kesehatan di Sumut yang berasal dari APBN, DPRD Sumut melalui komisi E mendatangi pemerintah pusat.

Anggota Komisi E DPRD Sumut, Timbas Tarigan, A.Md menyatakan kunjungan kerja Komisi E DPRD Sumut ke pemerintah pusat yaitu dengan mendatangi Komisi IX DPR RI dan Menkokesra bertujuan untuk meminta tambahan anggaran dari APBN melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) dan stimulus untuk kebutuhan peningkatan kualitas kesehatan di Sumut. hal ini sesuai dengan visi-misi Gubsu agar rakyat tidak sakit.

"Kami langsung diterima oleh Menkokesra, Agung Laksono, dan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Irgan beserta anggota lainnya," terang Timbas Tarigan, A.Md, Jumat (22/1).

Menurut Timbas Tarigan, A.Md yang juga merupakan Ketua Fraksi Partai Keadilan sejahtera (FPKS) DPRD Sumut ini. Sesuai dengan amanah undang-undang kesehatan yang menyatakan bahwa alokasi anggaran yang bersumber dari APBN maupun APBD untuk kesehatan sebesar 10 persen dari total anggaran yang ada, serta Peraturan Daerah (perda) Sumut yang juga mengamanahkan sebesar 15 persen sehingga membuat rakyat tidak sakit dapat terwujud. Maka sangat perlu rasanya dilakukan penambahan anggaran dari APBN. Karena di 2010 ini saja, APBD Sumut baru sangup merealisasikan anggaran kesehatan sebesar 3,54 persen dari total anggaran yang ada, dan itupun 50 persen diantaranya telah dialokasikan untuk belanja tidak langsung (pembayaran gaji pegawai).

"Dari APBD Sumut, kita tidak mungkin lagi memaksakan peningkatan jumlah anggaran kesehatan di 2010 ini. Karena dengan jumlah anggaran yang terbatas saat ini, beban yang harus dikeluarkan sudah cukup besar. Makanya harus ada tambahan dari APBN," ujarnya.

Padahal, dari target kesehatan Sumut yang ingin dicapai. Sangat besar anggaran yang harus disediakan. Diantaranya untuk menjalankan program penurunan kasus kematian ibu dan anak yang terus meningkat tiap tahunnya di Sumut dengan kembali mengaktifkan 14.622 unit posyandu yang kondisisnya saat ini semakin tidak jelas dan mengaktifkan desa siaga melalui poliklinik desa (polindes), yaitu satu desa satu polindes. "Dengan ini diharapkan kematian ibu dan anak bisa diminimalisir. Makanya anggaran yang dibutuhkan juga cukup besar agar programnya berjalan efektif," terangnya.

Selain itu, berdasarkan hasil analisis yang dilakukan di Sumut maka ada beberapa kasus penyakit yang mengalami peningkatan. Sehingga Komisi E DPRD Sumut dan Dinkes Pemprovsu juga merasa perlu untuk mendirikan Rumah Sakit Umum (RSU) ginjal dan hipertensi serta balai Kesehatan indra dan Mata (BKIM) "Kami juga mengajukan bantuan anggaran pembangunan kepada pemerintah pusat," katanya.

Timbas Tarigan, A.Md juga menambahkan, untuk meningkatkan kualitas kesehatan di Sumut, maka salah satu yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas pelayanan di RS yang ada di Sumut dengan melakukan akreditasi kembali. Karena dari 176 RS yang ada di Sumut, baru 8,14 persen yang sudah teragreditasi. Padahal 2010 ini sesuai dengan target pemerintah harus ada 70 persen RS yang teragreditasi.
"Peningkatan kualitas pelayanan RS ini saja dibutuhkan anggaran sebesar Rp 613 miliar," ucapnya.

Dari 8,14 persen RS yang sudah teragreditasi tersebut. Juga belum sesuai dengan standar nasioanl. Karena misalnya saja untuk standar agreditasi RS untuk kelas B, seharusnya berdasarkan aturan nasionalnya ada 12 pelayanan yang sudah lengkap harus dipenuhi RS yang bersangkutan. namun untuk di Sumut, Rs kelas B baru mampu menyiapkan 5 jenis pelayanan. "Ini juga lagi diupayakan untuk diperbaiki, dan pasti akan memakan anggaran yang besar. Karena untuk peningkatan pelayanan ini, juga harus ada tambahan fasilitas yang dilengkapi," katanya.

Untuk itu, dalam pertemuan tersebut. Komisi E DPRD Sumut meminta dan mendesak pemerintah pusat dapat dengan serius membahas penambahan alokasi anggaran untuk provinsi Sumut, khususnya bidang kesehatan. Karena dari data yang ada, jumlah anggaran yang berasal dari APBN untuk Sumut tiap tahun mengalami pengurangan. padahal sejak 1998 -2007 jumlah APBN untuk Sumut tetap stabil sebesar Rp 108,8 miliar pertahunnya. Namun sejak 2008 terus mengalami penurunan yaitu menjadi Rp 74,97 miliar, dan 2009 menjadi Rp 48,9 miliar.

"Makanya kami harapkan dengan koordinasi ini, maka anggaran di 2010 bisa mengalami peningkatan. Walaupun APBN murni 2010 sudah disahkan, kan kita masih bisa berharap ada peningkatan di P-APBN yang dalam waktu dekat akan dibahas," paparnya.

Jangan sampai sebagai provinsi yang memberikan sumbangan terbesar ke APBN, Sumut merasa dikecewakan. Karena jumlah anggaran yang didapatkan tidak seimbang dengan yang diberikan ke kas negara. "Pemerintah pusat harus mampu menjadikan pembahasan anggaran APBN untuk Sumut ini sebagai perioritas," katanya.
Jumat, 22/1/2010/ukhti

Wednesday, January 13, 2010

PTPN II harus lebih optimal untuk capai Target Produksinya

Komisi B DPRD SUMUT melaksanakan dengar pendapat dengan PTPN II di ruang Komisi B gedung DPRD Sumut Kamis (13 Januari 2010). Dalam kesempatan tersebut anggota Komisi B DPRD Sumut Bapak Muhammad Nasir mempertanyakan capaian target produksi PTPN II yang menurutnya dinilai belum Optimal. Sehingga untuk masa yang akan datang PTPN II harus lebih serius lagi untuk merelisasikan target produksi yang telah ditetapkan.

"PTPN II harus lebih optimal dalam rangka pencapaian target produksi yaitu sawit, getah, tembakau dan gula yang masih sebesar 52% per tahun". demikian ungkap Muhammad Nasir.

Dalam pertemuan itu juga Muhammad Nasir menekankan agar PTPN II segera merealisasikan status hak atas tanah perkebunannya dan melakukan pemetaan tanah. "PTPN II harus segera merealisasikan status hak atas tanah dan perkebunan sehingga tidak menimbulkan sengketa dikemudian hari, demikian pula dengan pemetaan lahan jangan sampai terjadi kesalahan yang akan menimbulkan masalah di lapangan" ujarnya. Di sisi lain PTPN II wajib melunasi Tunggakan PBB yang masih terhutang sebesar Rp.87.439.543.874,-

Muhammad Nasir yang merupakan anggota Komis B dari Fraksi PKS tersebut. juga menyoroti tentang kemungkinan dilakukannya perluasan kota Medan yang bakal mengambil lahan PTPN II. "kalau memang nantinya perluasan kota Medan bakal beririsan dengan lahan PTPN II harapannya agar PTPN II berkenan memberikan kemudahan pada pemerintah kota Medan jika ingin melakukan perluasan kota medan", tambahnya.

Banmus DPRD Sumsel Studi Banding Ke Sumut

Badan musyawarah (Bamus) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Selatan (sumsel), melakukan studi banding ke DPRD Sumut, rabu(13/1). Menurut anggota Banmus yang juga menjabat Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Bapak Timbas Tarigan, A.Md mengatakan, kunjungan Bamus beserta Ketua dan Wakil Ketua DPRD Sumsel tersebut ingin melihat secara langsung kinerja dewan di Sumut terutama banmusnya. "Kunjungan tersebut ingin melakukan perbandingan tentang aktifitas dewan di Sumut dan Sumsel," ujarnya di Medan, Rabu (13/1).

Lebih lanjut dikatakannya, dari pertemuan tersebut. DPRD Sumut dapat dikatakan lebih siap menjalankan masa tugasnya jika dibandingkan dengan DPRD Sumsel. Karena DPRD Sumut telah mampu menyiapkan program kerja selama satu tahun kedepan, sedangkan Sumsel baru per tiga bulan. "Mereka (DPRD Sumsel)sangat menyambut antusias dengan kinerja Banmus di DPRD Sumut," katanya,

Sebagai salah satu bagian dari perangkat dewan, melakukan perbandingan kinerja Banmus memang sangat diperlukan. Karena Banmus merupakan salah satu badan yang posisinya paling stategis di dewan, tanpa program yang dirancang Banmus, seluruh agenda formal tidak dapat dijalankan. "Kunjungan kerja, pansus, dan agenda dewan lainnya tidak dapat dijalankan. Jika tidak direncanakan secara baik oleh Banmus. Makanya peran Banmus ini sangat penting, sehingga perlu dilakukan perbandingan dengan kondisi di provinsi lain," paparnya.

Timbas Tarigan, A.Md juga menyatakan, dari informasi yang disampikan DPRD Sumsel yang hadir sekitar 17 orang tersebut juga terlihat bahwa ada beberapa kesamaan antara DPRD Sumut dan Sumsel. Diantaranya yaitu dari jumlah anggota dewan yang tidak jauh berbeda (Sumsel 75 orang, dan Sumut 100 arang), serta situasi politik juga hampir sama, yaitu bersifat heterogen. "Sumut dan Sumsel memiliki beberapa kemiripan," ucapnya.

Dalam kesempatan tersebut, anggota DPRD Sumsel langsung diterima oleh Wakil Ketua DPRD Sumut, Kamaluddin Harahap dan Chaidir Ritongga, serta beberapa anggota Banmus DPRD Sumut lainnya.
Rabu, 13/1/2010/Ukhti

Tuesday, January 12, 2010

Dinilai kurang dukungan dan koordinasi Dinas Pariwisata tidak maksimal

Komisi B DPRD Sumut mengadakan Rapat kerja dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pada tanggal 12 Januari 2010 untuk membahas program kerja T.A 2010 dan mengevaluasi pelaksanaan program kerja T.A 2009 serta kebijakan pemerintah Provinsi tentang pariwisata. Wakil ketua komisi B Bapak Muhammad Nasir mengatakan, Agenda yang dibicarakan adalah permasalahan mengenai kurangnya dukungan dan tidak terkoordinasinya kerja untuk membangun infrastruktur jalan karena bisa dilihat semua ruas jalan menuju objek wisata susah dilalui seperti jalan menuju Bahorok dan Gundaling Berastagi.

Dalam rapat tersebut terungkap juga bahwa tidak memadainya Anggaran di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menyebabkan sosialisasi Budaya dan Objek Wisata tidak sampai kepada masyarakat dengan meluas. Muhammad Nasir yang merupakan anggota fraksi PKS DPRD sumut ini mengungkapkan, "Dinas pariwisata yang akan membuat program Kunjungan Museum Dihatiku harus serius dalam mensukseskan program tersebut.

"Untuk mensukseskan program tersebut Dinas Pariwisata Agar berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan. Sehingga diharapkan Sekolah-sekolah dalam semua tingkatan gemar mengunjungi Museum. Dengan demikian para pelajar maupun masyarakat umum akan memiliki tambahan pengetahuan dan wawasan mengenai sejarah yang lebih baik", tambahnya.
Lebih lanjut menanggapi anggaran program di dinas Pariwisata dan Kebudayaan Muhammad Nasir menekankan agar Kadis kebudayaan dan Pariwisata transparan dalam menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi. " Jika ingin meningkatkan Angaran APBD 2010 harus dirinci secara lengkap program apa yang menjadi prioritas". sebagai contoh acara Ramadhan Fair kurang dirasakan pesan moral karena tidak sesuai di waktu Ramadhan, lebih baik dibuat Fitri Fair". ungkapnya.
Selasa/12/01/2010,mh,az

Monday, January 11, 2010

PENGAWASAN DPRD SUMUT TERHADAP BANK SUMUT TERKAIT FEE TEMUAN KPK

PENGAWASAN DPRD SUMUT TERHADAP BANK SUMUT TERKAIT FEE TEMUAN KPK

DPRD Sumut Komisi C panggil Bank Sumut untuk mengikuti Rapat Kerja berdasarkan adanya temuan BPK, BI dan KPK tanggal 11 Januari 2010.
Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan praktik-praktik illegal berupa penyetoran uang atau fee kepada kepala daerah oleh Bank Pembangunan Daerah (BPD) dibeberapa propinsi di Tanah Air, termasuk Sumut,Disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Haryono Umar, menurut H. Hidayatullah,SE pemanggilan ini fokusnya megklarifikasi kemana aliran fee sebesar Rp.53 Miliar diberikan karena sebagai salah satu BUMD saat ini sangat mengkhawatirkan, karena sering digunakan sebagai ajang singgah bagi pejabat, Dia mengatakan Esensinya manfaat BUMD bagi daerah tidak lain untuk public servis bagi masyarakat dan paling tidak dengan adanya BUMD itu bisa menjadi sumber pendapatan daerah .

Direktur Utama Bank Sumut Gus Irawan menolak mengomentari adanya temuan KPK terkait masalah fee, termasuk nama-nama pejabat yang disinyalir menerima fee tersebut. Dijelaskan Gus Irawan, sesuai dengan aturan, setiap simpan pinjam atas nama pemerintah daerah (pemda), sesuai dengan sistem jasanya dimasukkan langsung kerekening Pemda dalam bentuk bunga, bukan kerekening pribadi karena itu tidak bisa dilakukan. Jadi setelah itu kemana uangnya, pihak bank tidak tahu menahu, karena yang punya rekening kan Pemda, Ditambahkan Gus Irawan, terkait masalah fee ini, pada tahun 2005 Bank Indonesia telah menyurati seluruh BPD untuk menyerahkan laporan terkait proses alur simpanan dana pemerintah, dan BUMN/BUMD.”Terkait permintaan BI tersebut, sudah kami jawab.

Menanggapi hal itu, anggota Komisi C dari fraksi PKS DPRD SUMUT, H. Hidayatullah, SE menyatakan, dari informasi beberapa eksekutif di pemda, memang ada yang membenarkan bahwa fee dari simpanan Pemda dibank masuk ke rekening pribadi pejabat, mulai dari kepala daerah, wakil kepala daerah, sekda, bagian keuangan dan bendahara. “ Kalau memang bank Sumut tidak tahu, ya karena memang tidak diperiksa. Tapi saya yakin kalau diperiksa pasti tahu ke mana saja dana tersebut dialirkan,” ujarnya.

Karena dari informasi yang disampaikan Bank Sumut, secara jelas mereka tidak membantah terkait penemuan BPK tersebut. Namun mereka melimpahkannya ke Depdagri. “ Saat ini memang sedang ditangani Depdagri karena menyangkut beberapa BPD yang ada di Indonesia, tapi ini kan juga sudah ditangani KPK agar segera minta untuk dipulangkan kembali ke kas Pemda karena dikategorikan sebagai gratifikasi dan dibawa ke ranah hukum. Makanya juga perlu pengawasan lagi,” terangnya.

H. Hidayatullah, SE mengharapkan kepada Bank Sumut agar dapat memberikan informasi terkait nama-nama pejabat yang menerima fee tersebut , sehingga selain proses penyidikan yang dilakukan Depdagri dan KPK, DPRD Sumut juga dapat melakukan pengawasan terhadap pihak terkait.
Selasa, 12 Januari 2010/Medan Bisnis,Seputar Indonesia

Sunday, January 10, 2010

Daerah Harus Satu Suara Perjuangkan Anggaran Perbaikan Jalan

Semua pihak yang terkait di daerah, baik lembaga eksekutif maupun legislatif harus memiliki satu suara untuk memperjuangkan anggaran yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk memperbaiki berbagai jalan provinsi yang rusak di Sumut. Seperti Jalan Lintas di Kebanjahe menuju Tiga Binangga dan Laobalang.

Menurut anggota Komisi D DPRD Sumut, Andi Arba, S.Ag pihaknya sangat prihatin dengan kondisi jalan-jalan lintas provinsi di Sumut seperti di Kebanjahe menuju Tiga Binangga dan Laobalang yang kondisinya masih rusak parah. Padahal kawasan seperti itu merupakan daerah pertanian yang sangat membutuhkan infrastruktur jalan yang baik."Jalan lintas itukan berada di kawasan pertanian, jadi masyarakatnya pasti sangat membutuhkan fasilitas jalan dengan kondisi yang baik," ujarnya di Medan, Selasa (5/1).

Karena dengan kondisi jalan yang rusak, maka dapat dipastikan akan banyak pihak yang dirugikan. Baik dari masyarakat petani yang jadi kesulitan untuk memasarkan hasil pertaniannya maupun para pengusaha jasa transportasi. "Ini juga secara tidak langsung menghambat perekonomian, sehingga pendapatan daerah dan kesejahteraan rakyat juga jadi terhambat," katanya.

Untuk itu, guna memperbaiki jalan tersebut, maka sangat perlu kesamaan suara semua pihak yang ada di Sumut. Baik dari tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sehingga permasalahan yang memang sudah lama tidak selesai teratasi ini dapat terselesaikan."Kalau memang belum masuk dalam APBn 2010, kan kita masih punya kesempatan untuk memperjuangkannya di P-APBN yang akan dibahas beberapa waktu lagi. Jadi disini sangat dibutuhkan peran dan partisipasi, baik Pemprovsu, Pemka/Pemko maupun DPRD," paparnyaSelasa,5/1/2010/Ukhti

Penerapan AFTA Tak Sesuai Dengan Kondisi Rill

Penerapan perdagangan bebas atau ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) yang mulai diberlakukan pada awal tahun 2010 ini tidak sesuai dengan kondisi rill dilapangan, khususnya di Sumut.Sekretaris Komisi B DPRD Sumut M Nasir mengatakan, baik pemerintah pusat maupun daerah tidak bercermin pada kondisis rill dilapangan terkait perkembangan usaha lokal dan pemasaran produk dalam negeri yang ada selama ini, dalam penetapan AFTA tersebut. Karena saat ini saja, produk dan pengusaha lokal masih mengalami kesulitan untuk memajukan usahanya. "Belum saatnya perdagangan bebas ini diberlakukan di Indonesia. karena pada dasarnya baik pemerintah maupun pengusaha memang belum siap," ujarnya di Medan, Senin (4/1).

Jika dengan kondisi rill yang ada saat ini, AFTA diberlakukan. Maka dapat dipastikan pengusaha lokal/pribumi akan banyak yang tutup, sehingga lapangan kerja akan semakian berkurang. "Ini kan bisa menambah masalah baru nantinya, jika dipaksakan untuk dijalankan," katanya.Karena sekarang saja, pelaku usaha lokal banyak yang mengeluhkan untuk meningkatkan usahanya. Selain sulit untuk mendapatkan tambahan modal melalui dana pinjaman lunak ke bank, proses perizinan dan pendistribusian juga berbelit-belit dan tidak ada yang membantu."Kalaupun pemerintah mengeluarkan izin administrasi untuk usaha, tapi tidak ada pembinaan yang dilakukan. Sehingga para pengusaha ini harus berjuang sendiri," terangnya.Belum lagi besarnya biaya produksi bahan baku yang harus dikeluarkan pengusaha.

Jadi jika AFTA diberlakukan, bagaimana pengusaha lokal dapat bersaing. Mereka pasti akan semakin terjepit. "Kalau memang AFTA ini mau betul-betul dijalankan, maka perlu adanya proteksi. Seperti mempermudah perizinan, dan membantu pemodalan serta pendistribusian produk-produk mereka. Sehingga pengusaha pribumi juga dapat bersaing dan tidak tertindas, karena jika dilihat dari segi kualitas, produk yang dihasilkan tidak kalah dengan produk luar negeri," paparnya.

Selain itu, pemerintah juga harus mulai mengalokasikan anggaran yang lebih besar di APBN maupun APBD untuk membantu perkembangan usaha lokal ini. Serta membuat sentral usaha lokal, seperti UKM dalam satu lokasi yang strategis."Kalaupun ada pusat UKM selama ini kan, tidak terfokus dan strategis. Makanya, harus ada persiapan yang matang dari pemerintah untuk menghadapi AFTA ini, agar tidak merugikan para pengusaha lokal," paparnya. Senin, 4/1/2010/Ukhti

Pembangunan Mess Pemprovsu Di Yogyakarta Tak Sesuai Bestek

Pembangunan mess milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) di Yogyakarta diduga menyimpang dari anggaran yang telah ditentukan dan pembangunannya juga tidak sesuai dengan bestek yang telah ditetapkan. Demikian disampaikan anggota Komisi C DPRD Sumut, H. Hidayatullah, SE di Medan, Senin (4/01/2010).

Menurut H. Hidayatullah,SE, adanya penyimpangan tersebut didapatkan dari laporan pihak-pihak yang dapat dipercaya. Namun, H. Hidayatullah, SE enggan menyebutkan siapa yang melaporkan adanya penyimpangan anggaran proyek tersebut.

"kami mendapat laporan, pembangunannya menyimpang dari besteknya. Sebenarnya kami sudah mempercayai laporan itu, tapi perlu dibuktikan juga supaya jelas dan semakin yakin. Yang pasti, laporan tersebut layak dipercaya kebenarannya," ujar Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPRD Sumut tersebut.

Penyimpangan anggaran tersebut terjadi pada pembangunan tahap kedua mess yang dianggarkan sebesar Rp 2,4 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumut 2009.

Selain itu, penyimpangan juga sebenarnya sudah terlihat pada anggaran pembangunan tahap pertama mess tersebut sebesar Rp 4,9 miliar yang dialokasikan pada APBD Sumut 2008. Karena sudah dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumut, sejumlah pihak yang terkait dari Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Sumut yang bertanggungjawab atas proyek tersebut, juga telah dimintai keterangan oleh penyelidik Kejati Sumut.

"Sampai sekarang memang belum ada kejelasan tindak lanjut laporan itu, tetapi faktanya kita melihat secara kasat mata memang menyimpang dari besteknya. Karena pembangunan tahap pertama ini, saya sendiri sudah melakukan tinjauan langsung," terangnya.

Dugaan terjadinya penyimpangan tersebut semakin menguat karena pada tahap pertama, pembangunan mess tersebut ditangani Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Sumut (Tarukim). Namun pembangunan tahap kedua justru ditangani oleh Biro Perlengkapan Pemprovsu. Padahal, lazimnya pembangunan proyek fisik berupa aset tidak bergerak ditangani oleh Dinas Tarukim.

"Yang menjadi pertanyaan kenapa beralih ke Biro Perlengkapan karena yang kita pahami selama ini, penanggungjawab proyek fisik ditangani Dinas Tarukim," ucapnya.

Potensi terjadinya penyimpangan proyek ini, lanjut H. Hidayatullah,SE, semakin besar karena letaknya jauh dari Sumut. Sehingga pelaksanaan proyek minim dari pengawasan. Rencananya, FPKS DPRD Sumut akan menurunkan tim untuk menginvestigasi kasus ini. Dengan demikian diharapkan bisa memperjelas terjadinya penyimpangan dan besarnya potensi kerugian keuangan daerah.

"Kami juga akan bawa masalah ini ke komisi untuk meminta penjelasan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang terkait. Diharapkan teman-teman di komisi juga mau sama-sama merekomendasikan agar pembangunan mess ini dapat segera diaudit oleh BPK," paparnya.
Senin, 4/1/2010/Ukhti

Friday, January 8, 2010

Anggota Dewan Komisi B Jalan Kaki Jemput Pergub Tentang Subsidi Pupuk

* Syamsul Arifin Berdalih Salahkan PT Pusri


MEDAN (Berita): Karena Pergub ( Peraturan Gubernur ) pengadaan dan penyaluran Pupuk Urea Bersubsidi tidak kunjung diterbitkan, anggota Komisi B DPRD SU lansung mendatangi Gubsu yang ditunjukkan dengan berjalan kaki dari gedung dewan ke kantor Gubsu akhirnya membuahkan hasil. Setelah aksi “jemput bola” itu, akhirnya Gubernur Sumatera Utara H Syamsul Arifin menandatangani Surat Keputusan (SK) Peraturan Gubsu (Pergub) tentang mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi, yang menjadi persyaratan bagi penyaluran pupuk di kabupaten/kota, Rabu [06/01].


SK Pergub ini sebelumnya tertahan di Biro Perekonomian Setda Provsu. Tertahannya SK ini disebut-sebut karena ada ‘main mata” antara oknum di Biro Perekonomian dengan mafia pupuk di Sumatera Utara. Ironisnya, Gubsu H Syamsul Arifin SE di hadapan anggota Komisi E justru berdalih mengaku tidak tahu perihal tertahannya SK Pergub tersebut di Biro Perekonomian.


Namun sebelumnya, menurut Gubsu dia sudah mengingatkan Kepala Dinas Pertanian untuk menyurati kepala daerah di kabupaten/kota, agar mensosialisasikan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) akan distribusi pupuk bersubsidi.


“Pusri tidak pernah lapor ke saya, minimal mengingatkan. Jadi ini akibat kelalain PT Pusri juga,” ujar Gubsu dalam pertemuan di lantai 10 Kantor Gubsu. Gubsu yang didampingi Asisten Perekonomian Djaili Azwar dan Kadis Pertanian Sumut M Rum, merasa ‘ditodong’ akan kehadiran anggota Komisi B. Apalagi, Komisi B sengaja datang ke Kantor Gubsu dengan berjalan kaki dari gedung dewan.


Menurut Gubsu, meski terlambat dia akan langsung menandatangani SK Pergub tersebut, setelah melalui 7 tahapan yang berawal dari kabiro. “Hari ini juga saya akan tandatangani SK pergub tersebut,” ujar Gubsu dihadapan anggota Komisi B dan Kepala PT Pusri.


Sebelum berangkat ke Kantor Gubsu, pertemuan antara Komisi B DPRD Sumut dipimpin Wakil Ketua Komisi B : Muhammad Nasir dengan PT Pusri yang dihadiri Pimpinan PT Pusri Renaldi Setia Budi, awalnya berlangsung di ruang Komisi B DPRD Sumut. Rapat dihadiri Anggota Komisi B, Aduhot Simamora, Tohonan Silalahi, Rina Sianturi, Ida Budi Ningsih, Richard M Lingga, Taufan Agung Ginting, Guntur Manurung, Fahruroji. Pimpinan PT Pusri Renaldi Setia Budi menjelaskan terlambatnya penyaluran pupuk bersubsidi dikarenakan belum adanya Peraturan Gubernur (Pergub) sebagai payung hukum untuk mendistribusikan pupuk bersubsidi ini ke kabupaten/kota.


“Padahal tidak tersalurnya pupuk bersubsidi ini membuat stok di gudang penuh dan jika PT Pusri tetap mendistribusikannya maka kami akan berurusan dengan pihak kepolisian. Hal ini yang tidak berani kami lakukan karena saya sudah berulang kali dipanggil Mabes Polri karena hal seperti ini,” ujar Renaldi pimpinan PT Pusri.


Pernyataan Pimpinan PT Pusri inilah yang kemudian ‘memancing’ emosi salah seorang anggota Komisi B, Bustami HS. Dia menilai biang kerok dari persoalan ini adalah Biro Perekonomian dan Biro Hukum Setda Provsu yang terkesan sengaja ingin menahan-nahan keluarnya Pergub tersebut. “Padahal petani sangat membutuhkannya. Saat reses kemarin kita pun sangat terenyuh mendengarkan keluhan petani akan langkanya pupuk bersubsidi. Akibatnya kalaupun ada harga pupuk sangat mahal,” kata Bustami.


Bustami pun mengusulkan agar Komisi B dan pimpinan PT Pusri langsung berangkat ke Kantor Gubsu di Jalan Diponegoro untuk mendatangi Biro Perekonomian. “Saran saya ayo kita berangkat ke Kantor Gubsu dan mendatangi Biro Perekonomian. Kita tanya apa pasalnya Pergub itu nggak keluar-keluar,” kata Bustami seraya menyatakan jika tidak pertemuan itu tak perlu dilanjutkan.

Namun pimpinan rapat, Muhammad Nasir menilai pertemuan itu sebaiknya dilanjutkan dengan mendengarkan penjelasan dari staf Biro Hukum yang sengaja didatangkan dalam pertemuan itu. Akhirnya, Bustami pun memutuskan untuk meninggalkan ruang rapat sebagai bentuk sikap politiknya.(Waspada,Global)

Wednesday, January 6, 2010

PT. INALUM MASIH LAYAKKAH DILANJUTKAN?

oleh : AMSAL NASUTION, B.Eng
Sesuai Master Of Agreement perjanjian kerjasama antara pemerintah Indonesia dan 6 perusahaan Jepang yang tergabung dalam PT. INALUM akan berakhir pada Oktober 2013. Perusahaan raksasa ini berdiri sejak 1976 dan mulai beroperasi 20 Januari 1982. Terdiri dari pembangkit listrik (PLTA) kapasitas 426 MW dan peleburan aluminium ( Smelter) kapasitas 225000 ton aluminium per tahun dengan total investasi 411 milyar yen (+/- Rp.50 trilyun). Pada saat perjanjian kerja sama berakhir maka perusahan tersebut telah beroperasi selama 30 tahun lebih.

Perusahaan ini bisa disebut perusahaan paling istimewa di Sumatera Utara, investasi yang sangat besar, sejarah panjang pendiriannya dan yang paling fantastis 24 tahun beroperasi perusahaan ini bukannya untung bahkan membukukan total kerugian 900 juta dollar. Tidak aneh banyak suara miring yang dialamatkan kepada pemerintah tentang lemahnya posisi Indonesia dalam Master of Agreement tersebut, ada yang telah melacurkan kepentingan bangsa ini.

Beberapa tahun terakhir menjelang berakhirnya kerjasama kinerja perusahaan semakin baik: perusahaan mulai mencatat laba, membayar pajak badan, melunasi hutang, diperkirakan pada saat serah terima nanti hutang telah lunas dan perusahaan akan mempunyai kas sebesar 628 juta dolar. Disamping itu, saat ini putra putri Indonesia sudah mampu menjalankan perusahaan ini baik dari sisi teknologi maupun manajemen.

Menurut rencana, 1 Nopember 2010 akan dilakukan pembicaraan antara pemerintah Indonesia dengan pihak Jepang untuk menentukan status kepemilikan perusahaan ini. Kita berharap pemerintah mampu menentukan pilihan terbaik untuk bangsa ini dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Untuk menentukan pilihan tentu saja harus didasari kajian yang mendalam, namun secara garis besar pilihan tersebut berkisar pada dua isu. Pertama, masalah kepemilikan apakah pemerintah akan mengambil alih dengan atau tanpa peran swasta. Kedua, apakah perusahaan tetap pada bisnis peleburan aluminium atau mengalihkannya menjadi pembangkit listrik.

Menurut hemat kami, dengan keterlibatan pihak swasta nasional masalah kepemilikan tidak begitu sulit diselesaikan. Bahkan Ir. Effendi Sirait, Ketua Otorita Asahan pernah menyatakan, dengan prediksi keuangan PT. Inalum tahun 2013, pemerintah tidak perlu lagi repot-repot untuk mencari dana men-take over saham Jepang dari tubuh PT Inalum.
Kami justru melihat masalah kedua sangat penting menjadi perhatian. Menurut kami, pengambil alihan perusahaan tersebut dan menjadikannya sebagai pembangkit listrik suatu opsi yang paling menguntungkan baik alasan historis maupun alasan kondisi kelistrikan di SUMUT.

Alasan historis
Tujuan utama proyek Asahan ini adalah memanfaatkan potensi sungai Asahan yang luar biasa untuk pembangkit listrik, bahkan usaha ini sudah dijajaki sejak masa kolonial Belanda. Akan halnya pabrik peleburan aluminium, hanya solusi sementara karena pada saat didirikan Sumatera Utara belum mampu mengkonsumsi listrik sebesar itu. Hal ini kelihatan dari strategi industri aluminium yang tidak rasional, bahan baku 100 % impor dan hasil produksi hampir semua diekspor. Singkatnya, industri aluminium ini hanya memanfaatkan listrik murah dari aliran sungai Asahan. tidak ada yang lain.

Alasan kondisi kelistrikan di Sumatera Utara.
Sejak tahun 2005 pemerintah melalui Keputusan Menteri ESDM no.479-12/43/600.2/2005 menyatakan Sumatera Utara sebagai daerah krisis penyediaan energi listrik. Krisis ini telah meluluh lantakkan industri di Sumatera Utara, baik UKM maupun industri besar. Perusahaan terpaksa mengurangi jam operasi atau menggunakan pembangkit sendiri yang sudah pasti membuat lonjakan biaya produksi. Akibatnya, investor lari dan pengangguran semakin meningkat. Upaya PLN sampai saat ini belum pernah terbukti bisa menyelesaikan krisis listrik, kecuali pada momen tertentu pada hari raya keagamaan.
Dari data PLN, daya mampu PLN saat ini 1300 MW( dengan keandalan yang terbukti tak andal),rencana pembangkit baru tahun-2010/2011 sebesar 804 MW, dan beberapa proyek lain setelah 2012 sebesar 644 MW, sehingga total daya tersedia tahun 2013 sebesar 2748 MW atau 2 kali kondisi saat ini. Pertanyaannya, apakah listrik dari Inalum masih dibutuhkan?.
Dari sisi kebutuhan akan listrik, dengan penduduk Sumatera Utara 14 juta jiwa dan rencana produksi PLN tahun 2009 sebesar 6111 GWH maka konsumsi listrik perkapita baru berkisar 436 KWH. Menurut data UNDP tahun 2002, konsumsi perkapita Thailand 1352 KWH, Malaysia 2474 KWH. Artinya, jika kita ingin menyamai Thailand saja di tahun 2002 yang lalu, kita butuh berkisar 3 kali pembangkit saat ini, atau jika ingin sama dengan Malaysia tahun 2002, kita butuh hampir 6 kali lipat. Artinya, kita tetap butuh pembangkit tambahan.
Kemudian dari sisi biaya, PLN Sumbagut saat ini menjual listrik dengan harga rata-rata Rp.633/KWH sementara biaya pokok penyediaan BPP (termasuk yang dikorupsi) sebesar Rp.1772/KWH. Artinya, subsidi yang sangat besar masih harus ditanggung pemerintah. Mahalnya BPP ini akibat dari ketidak efisienan/korupsi di tubuh PLN dan juga jenis pembangkit yang menggunakan energy primer yang mahal seperti HSD, MFO dll. Sesuatu yang tak layak dilakukan oleh perusahaan pembangkit yang waras. Dengan bergabungnya Inalum ke system pembangkit listrik Sumatera Utara dipastikan BPP PLN secara umum akan turun drastis.
Lalu apa justifikasi kita meninggalkan Smelter Aluminium? Bukankah tetap untung?. Sebagai ilustrasi, PT. Inalum dalam rentang tahun 2004 sampai 2009 telah memproduksi aluminium sebanyak 1488 ribu ton aluminium dengan perkiraan konsumsi listrik sebesar 21576 GWH ( dalam kurun yang sama PLN hanya menghasilkan 31025 GWH) hanya bisa menghasilkan laba bersih 683 juta dollar AS (sekitar Rp.6,4 trilyun). Jika listrik sebanyak itu dijual dengan harga subsidi PLN Rp.633/KWH, maka nilainya sekitar Rp.13,7 trilyun, jika dengan harga BPP Rp.1772/KWH nilainya menjadi Rp.38.2 trilyun. Dengan biaya produksi PLTA yang hanya berkisar Rp.100/KWH, maka biaya produksi hanya berkisar Rp.2 Trilyun. Artinya dibandingkan dengan kinerja PLN saat ini, perusahaan akan untung Rp.36 trilyun atau Rp. 6 trilyun per tahun. Sementara dari bisnis aluminium PT. Inalum hanya mampu meraup keuntungan semu sebesar 1 trilyun per tahun. Ancit nai amang naso mamboto.
Penutup, aliran sungai Asahan yang menyimpan potensi listrik yang luar biasa adalah anugerah Allah swt kepada rakyat Sumatera Utara. Tidak semua daerah memilikinya. Maka adalah suatu kewajaran jika rakyat Sumatera Utara mendapat manfaat yang besar dari karunia tersebut. Pihak-pihak yang menghalangi rakyat dalam mendapat manfaat tersebut baik penguasa maupun pengusaha adalah zalim, apalagi disaat jeritan panjang masyarakat Sumatera Utara akan krisis listrik belum usai. Pilihan paling bijak menurut kami adalah menutup Smelter PT. Inalum dan menggunakan PLTA-nya untuk menutupi kebutuhan listrik Sumatera Utara. Dengan itu pasokan listrik yang murah akan terjamin, industry akan tumbuh dan jutaan masyarakat akan mendapat pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya. Insya Allah. Wallohu a’lam bisshawab.
AN/H/07/12/10

Monday, January 4, 2010

Pemerintah Provinsi Sumut Belum Siap Hadapi AFTA

Pemerintah daerah di Sumut, khususnya Pemprovsu. Belum siap untuk menghadapi pelaksanaan ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang akan dilaksanakan 2010 ini. Buktinya, memasuki awal tahun ini belum ada persiapan khusus atau antisipasi untuk menghadapai pemberlakuan AFTA tersebut.Demikian disampaikan anggota Komisi C DPRD Sumut dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), H. Hidayatullah, SE di Medan, Minggu (3/1).

Menanggapi akan dilaksanakan AFTA di Indonesia termasuk Sumut pada 2010 ini. Menurut H. Hidayatullah, SE, pelaksanaan AFTA ini pasti akan sangat mempengaruhi perkembangan dan kondisi usaha di Indonesia, khususnya di sumut sebagai pintu masuk utama barang-barang ekspor jika dilihat dari letak geografisnya yang berdekatan dengan berbagai negara tetangga. Namun sayangnya, sampai sekarang belum ada pembahasan atau antisipasi yang disiapkan Pemprovsu untuk menghadapi AFTA ini. "Pemerintah kita belum siap untuk menghadapi AFTA ini. Bahkan terkesan pura-pura tidak tahu bahwa akan ada pemberlakuan AFTA, dan menganggap bahwa program ini hanya pemikiran pemerintah pusat yang tidak ada hubungannya dengan daerah," ujarnya.

Hal itu terbukti dengan tidak adanya pembahasan terkait AFTA dalam grean desain Sumut. "Tidak ada singgung-singgung soal AFTA dalam grand design Sumut. Sumutkan memang seringnya begitu, bermasalah dulu, ribut-ribut dulu, baru nanti sibuk cari antisipasinya," ucapnya. Jadi, untuk menghadapi AFTA ini, memang baru pemerintah pusat yang melakukan proteksi atau antisipasi. Sedangkan di Sumut sendiri, belum ada langkah yang diambil. Padahal, jika tidak diproteksi dapat dipastikan usaha dan produk-produk lokal di Sumut akan banyak yang kalah bersaing. Karena saat ini saja, sebelum AFTA diberlakukan, usaha lokal banyak yang mengalami kesulitan untuk berkembang. Seharusnya, Pemprovsu segera melakukan inventarisisr dan menganalisis dampak paling pahit yang dapat terjadi dengan pemberlakukan AFTA ini, sehingga kedepan ada antisipasi untuk menghadapinya. "Sudah bisa dihitung berapa usaha dan jenis usaha apa saja yang tidak sanggup menghadapi AFTA ini untuk disampaikan ke pemerintah pusat. Jadi ada proteksinya," terang politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPRD Sumut ini.

Jika tidak dapat diproteksi, mungkin langkah yang dapat diambil pemerintah pusat dan Pemprovsu adalah dengan memberikan keringanan atau penghapusan beban biaya yang harus ditanggung pengusaha lokal selama ini. Misalnya saja dengan penghapusan atau pengurangan pajak pendapatan, dimana biasanya pada saat pendapatan Rp 50 juta mereka suah kena pajak 15 pesen, ini dinaikkan pada saat pendapatan Rp 100 juta baru kena pajak. Dengan cara ini diharapkan dana yang dikeluarkan untuk membayar beban dapat dialokasikan sebagai modal usaha, sehingga harga barang yang akan dijual dapat lebih murah untuk menyaingi barang-barang ekspor.

"Beban mereka dikurangi untuk dialokasikan sebagai modal tambahan bagi para pengusaha lokal. Mungkin pemberian insentif seperti ini akan dapat sedikit membantu pengusaha lokal dalam menghadapi AFTA ini," terangnya.

Selain itu, sosialisasi kepada pihak terkait, baik pengusaha dan pekerja tentang pelaksanaan AFTA ini juga harus dilakukan. Sehingga masing-masing mereka juga dapat melakukan efesiensi sejak dini dalam menghadapi persaingan. "Termasuk, pungli-pungli (pungutan liar) yang banyak diberlakukan pejabat maupun pemerintah harus segera dihilangkan. Sehingga beban pengusaha tidak semakin bertambah," paparnya.
Minggu, 3/1/2010/Ukhti

FPKS DPRD Sumut Kunjungi Napi di LP Pangkalan Brandan

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPRD Sumut, yang diwakili ketuanya Bapak Timbas Tarigan, A.Md mengunjungi para narapidana (napi) di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pangkalan Brandan pada 27 Desember 2009. Untuk mendukung jalannya salah satu program Menteri Hukum dan HAM dalam 100 hari kabinet Indonesia bersatu jilid II.

Menurut Timbas Tarigan, A.Md, kunjungan tersebut dilaksanakan dalam bentuk pasantren kilat dengan memberikan beberapa materi yang bermanfaat bagi para napi dan pegawai yang ada di LP tersebut. "Saya memberikan materi tentang al insan (mengenal manusia)," katanya di Medan, Kamis (31/12). Tujuannya adalah, agar para peserta yaitu para napi dan pegawai LP dapat lebih memahami dirinya sebagai manusia. Sehingga secara langsung mereka diharapkan dapat lebih mengenal tuhannya dan hidup sesuai dengan aturan agama secara lebih baik. "Ada sekitar 30 orang yang mengikuti pasantren kilat tersebut. Dan mereka terlihat sangat antusias mengikutinya, terbukti dari berbagai pertanyaan yang diajukan," ujar anggota Komisi E DPRD Sumut ini.

Diharapkan dengan penyampaian materi al insan ini, para napi yang ada di dalam LP dapat betul-betul mengenal dirinya seabagi manusia untuk mempersiapkan diri jika mereka menyelesaikan masa hukumannya dan kembali ketengah-tengah masyarakat. "Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan penyadaran kepada para napi, agar mereka bisa lebih baik lagi. Sehingga pada saat keluar dari LP, masyarakat umum dapat juga menerima mereka dengan baik," terangnya.

Melihat antusias para peserta, khususnya napi. Pihaknya juga berencana akan melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan penanggungjawab LP untuk melaksanakan kegiatan pasantren kilat tersebut secara rutin sekitar sebulan sekali. "Memang belum ada kesepakatan. Tapi kami rencananya mau menindaklanjuti pertemuan ini, dengan melakukan pertemuan rutin dan memberikan materi-materi agama kepada napi sebulan sekali," paparnya.
Kamis, 31/12/2009/Ukhti

Ketua FPKS DPRD Sumut, 2010 Dewan Harus Golkan Perda Tarif RSJ Pemprovsu

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPRD Sumut, Timbas Tarigan, A.Md mendesak, agar pada tahun 2010 mendatang, anggota dewan harus mampu "menggolkan" pengesahan peraturan daerah (perda) tarif yang menjelaskan secara tegas berbagai tarif yang dapat dikenakan dalam memberiakn pelayanan. Sesuai harapan Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit jiwa (RSJ) Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) yang meminta agar pada 2010 mendatang, perda tarif ini harus segera direalisasikan. “Untuk itu, dewan harus mampu menjadikan pengesahan perda ini sebagai perioritas karena RSJ Pemprovsu sendiri sudah lama mengajukan pembuatan perda ini," ujarnya, di Medan, Kamis (31/12).

Menurut Timbas Tarigan, A.Md yang juga merupakan anggota Komisi E DPRD Sumut ini, pembuatan perda tarif baru bagi RSJ Pemprovsu merupakan hal yang sangat realistis untuk dapat di wujudkan. Karena selain dari segi anggaran juga ada di alokasikan dalam APBD Sumut, dari kondisi rill dilapangan juga sangat membutuhkan penerapa tarif baru di RSJ Pemprovsu. Sehingga pelayanan dan alat yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat.

"Anggaran pembuatan Perda ini, saya rasa tidak ada masalah. Karena dewan selalu mengalokasikan pembuatan perda dalam APBD Sumut. Jadi tinggal disampaikan saja kepada pimpinan dewan," terangnya.
Ditambahkan Timbas Tarigan, A.Md, dari paparan yang disampaikan Plt Direktur RSJ Pemprovsu, Dapot Parulian, dalam rapat kerja antara komisi E DPRD Sumut dan RSJ Pemprovsu, Pada 29 Desember lalu. Juga disampaikan bahwa peraturan yang digunakan RSJ Pemprovsu untuk mengenakan tarif dalam memberikan pelayanan selama ini kepada masyarakat berpatokan pada surat keputusan Direktorat Jenderal (Dirjen) Pelayanan Medis (Yanmed) Departemen Kesehaan (Depkes) Republik Indonesia (RI) tahun 2001. Jadi, dengan melihat berbagai perkembangan yang terjadi saat ini, maka peraturan tersebut sudah sangat tidak realistis lagi untuk dijadikan patokan. "kalau perda ini tidak segera direalisasikan, bisa-bisa peningkatan kualitas dan mutu di RSJ hanya omong kosong saja," katanya.

Selain itu, terang Timbas Tarigan, A.Md, ada beberapa fasilitas kesehatan yang baru dibeli RSJ Pemprovsu namun belum dapat dimanfaatkan oleh pasien dan masyarakat umum. Karena mereka belum dapat menetapkan berapa jumlah tarif yang dapat dikenakan jika alat tersebut digunakan."Mereka kan (RSJ Pemprovsu) juga tidak dapat menerapkan tarif sembarangan jika tidak ada payung hukum yang kuat. Makanya DPRD Sumut pada 2010 ini harus betul-betul memperioritaskan perda ini. Masak pelayanan terbaik dan penggunaan fasilitas yang ada tidak dapat diberikan hanya karena terkendala perda," terangnya.

Agar realisasi perda ini juga dapat tercapai, ucap Timbas Tarigan, A.Md. Maka sesuai dengan hasil rapat Komisi E DPRD Sumut, akan dilakukan pertemuan khusus dan rutin antara dewan dan pihak RSJ Pemprovsu. Karena konsep dari RSJ Pemprovsu sendiri sebagai pihak yang paling paham dan pelaku dilapangan sangat diperlukan. "Tidak hanya semangat dewan yang dituntut untuk merealisasikan perda tarif ini. Tapi keseriusan RSJ Pemprovsu juga dibutuhkan," paparnya.
Disamping itu, kata Timbas Tarigan, A.Md. Pihaknya juga sepakat dengan adanya usulan perluasan lahan bagi RSJ Pemprovsu sesuai dengan kebutuhan. Karena sesuai dengan informasi yang diterimanya, luas lahan yang ada saat ini sekitar 4 hektar masih sangat kurang untuk memberikan pelayanan dan fasilitas yang layak bagi para pasien. "Kami dari FPKS juga sangat sangat setuju adanya penambahan lahan sekitar 3,8 hektar lagi. Supaya fasilitas yang dibutuhkan pasien dapat terlengkapi. Karena jumlah pasien yang ada sekarang juga sudah sangat melewati kapasitas yang seharusnya. Jadi dewan juga harus memperjuangkan ini," ujarnya.
Kamis, 31/12/2009/Ukhti

SKPD Tak Beres Serapan APBD Sumut 2009 Minim

Serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) Sumut 2009 masih minim, khususnya belanja langsung untuk kepentingan masyarakat yaitu baru mencapai 51 persen per November merupakan bukti bahwa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemprovsu tidak beres dalam menjalankan program yang ada.

Menurut Anggota Komisi C DPRD Sumut dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), H. Hidayatullah, SE, melihat serapan langsung APBD Sumut yang baru mencapai 51 persen per November lalu merupakan kondisi yang sangat mengecewakan, dan ini merupakan bukti bahwa SKPD tidak beres dalam menjalankan program yang sudah disusunnya. "Ini bukti bahwa program yang diajukan SKPD tidak melalui perancangan yang matang. Ini menunjukan keamburadulan SKPD kan," ucapnya di Medan, Rabu (30/12).

Bukti bahwa program SKPD tidak melalui perancangan dapat dilihat dari laporan yang disampaikan Dinas Tarukim beberapa waktu lalu terkait tidak digunakannya sama sekali anggaran kelanjutan pembangunan gedung serba guna (GSG) sebesar Rp 5 miliar yang ada di PAPBD Sumut 2009. "Kalau programnya betul-betul matang, masak itu anggaran sudah ada tapi tidak digunakan sama sekali. Anggaran ini masuk dalam APBD kan juga karena diajukan SKPD," terangnya.

Dari DPRD Sumut sendiri, pihaknya sudah mencoba untuk menyelesaikan tanggungjawabnya dengan mengesahkan APBD 2009 tepat waktu, yaitu pada Desember 2008. Sehingga Januari 2009, seharusnya APBD tersebut sudah dapat dijalankan sesuai dengan program. "Tidak ada lagi alasan bahwa penyerapan anggaran minim, karena APBD terlambat disahkan," ujarnya.

Jadi, kesalahan minimnya serapan APBD ini memang terletak ditangan SKPD. karena DPRD Sumut sendiri sudah mencoba untuk memaksimalkan kinerjanya. "Kan sangat disayangkan jika kinerja dewan yang mulai mengalami peningkatan tidak diimbangi oleh SKPD," katanya.
Dengan kondisi yang ada ini, juga sangat wajar jika Gubsu kecewa dengan SKPD. Untuk itu, sebagai pihak yang mengangkat SKPD, Gubsu harus mampu bertindak tegas dengan memberikan sanksi kepada SKPd yang tidak mampu menjalankan program dengan baik sehingga serapan APBD Sumut jadi minim. "karena jika SKPD yang ada masih gii-gini juga, maka saya yakin serapan tahun depan juga akan minim," ucapnya.

Selain itu, tambah H. Hidayatullah, SE, minimnya serapan anggaran ini juga merupakan indikasi kesengajaan untuk mengumpulkan ratusan miliar anggaran yang ada. Sehingga bisa disimpan di bank, dan diambil bungannya untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. "Ada dugaan daya serap rendah ini karena memang disengaja," katanya.

Padahal, tidak diserapnya APBD Sumut secara maksimal tersebut, sangat merugikan masyarakat Sumut. Karena proses pembangunan yang seharusnya sudah dapat dinikmati masyarakat, harus tertunda hanya karena SKPD yang tidak maksimal. "Selain SKPD, ada juga peran dari biro keuangan terkait kecilnya serapan anggaran ini. Karena banyak laporan yang menyatakan sulit untuk merealisasikan anggaran yang ada karena banyaknya proses yang harus dilalui," terangnya.

Untuk kedepan, agar serapan APBD Sumut ini dapat lebih maksimal, maka Badan anggaran (banggar) di DPRD sumut harus lebih maksimal melakukan pengawasan dan bekerja sepanjang tahun. Tidak hanya berdasarkan agenda saja. Selain itu, untuk antisipasi lain yang dapat dilakukan agar anggaran dapat terserap dengan baik yaitu SKPD yang ada sudah dapat melakukan persiapan dari sekarang terkait program yang akan dijalankan. Sehingga pada Januari
mendatang, program memang betul-betul dapat dijalankan. "APBD 2010 kan sudah disahkan pada September lalu, jadi sudak OK kondisinya. Untuk itu SKPD harus betul-betul dapat jalankan program mulai awal tahun,"
terangnya.
Rabu, 30/12/2009/Ukhti

Tahun 2010, Bupati Tapsel Janji Pindahkan Ibukota ke Sipirok


Setelah mundur dalam waktu yang cukup lama untuk melaksanakan Undang-Undang No 37-38/2007 tentang pemekaran Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) dan penetapan Sipirok sebagai ibukota, Bupati Tapanuli Selatan, Ongku P Hasibuan berjanji akan memindahkan ibukotanya dari Padangsidimpuan ke Sipirok secara bertahap pada tahun 2010. Demikian disampikan Ketua Komisi A DPRD Sumut, H. M Nuh, MSp di Medan, Minggu (27/12). Menurutnya, janji tersebut disampaikan Ongku P Hasibuan dihadapan anggota Komisi A DPRD Sumut yang melakukan kunjungan kerja ke Sipirok pada 23 Desember 2009.

Mulanya, terang politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPRD Sumut ini, Ongku sempat memberikan beberapa penjelasan perihal beberapa kesulitan yang akan dihadapi jika ibukota dipindahkan ke Sipirok kepada komisi A DPRD Sumut. Namun, tidak ada anggota Komisi A DPRD Sumut yang menerima dan menyetujui alasan penundaan relokasi ibukota tersebut."Kami tetap tegas meminta agar bupati segera menjalankan UU yang sudah ditunda pelaksanaannya 10 bulan lebih," katanya. Karena, apa yang sudah ditetapkan oleh UU harus dilaksanakan. Yakni seharusnya pemindahan ibukota sudah dilaksanakan paling lambat 18 bulan
dari diterbitkannya undang-undang tersebut, yaitu pada bulan Februari 2009. Jika tidak, maka penundaan pelaksanaan pemindahan ibukota ini akan menjadi preseden buruk bagi masyarakat, melihat bahwa pemimpinnya malah tidak mematuhi UU.

Jika memang didalam pelaksanaan UU ini ada kendala atau halangan yang dihadapi, ujar H. M Nuh, M.Sp, tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mentaati dan menjalankan UU yang telah dikeluarkan pemerintah. Tapi harus dicari jalan keluar sesuai aturan yang berlaku.
"Kalau memang ada kendala, ya harus ikuti mekanisme. Jika memang perlu adanya perubahan undang-undang kan ada prosedurnya, jadi bukan berarti langsung undang-undang tersebut tidak dijalankan," katanya. Jadi, Komisi A DPRD Sumut, akan tetap mendesak agar pemindahan ibu kota segera dilakukan. Walaupun memang ada beberapa alasan mendasar yang disampaikan Bupati, namun itu hanya dijadikan pertimbangan untuk tidak memberikan sanksi kepada Bupati Tapsel terkait ditundanya pelaksanaan undang-undang selama 10 bulan.
"Mulanya Bupati malah minta penundaan sampai 2012, ini tidak bisa kami terima Karena akan jadi image yang buruk bagi masyarakat. Masak seorang pemimpin tidak taat UU," ucapnya. Sebelumnya, Komisi A DPRD Sumut juga menerima sejumlah tokoh masyarakat di Torsibohi Hotel. Masyarakat secara aklamasi menyerukan kepada bupati untuk segera mengikuti peraturan dan UU yang ditetapkan, yaitu segera memindahkan ibukota Tapsel ke Sipirok. Jika tidak mau atau belum mampu mereka mendesak bupati agar mundur dari jabatannya.
Minggu, 27/12/2009/Ukhti

Tahun 2010, Bupati Tapsel Janji Pindahkan Ibukota ke Sipirok

Setelah mundur dalam waktu yang cukup lama untuk melaksanakan Undang-Undang No 37-38/2007 tentang pemekaran Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) dan penetapan Sipirok sebagai ibukota, Bupati Tapanuli Selatan, Ongku P Hasibuan berjanji akan memindahkan ibukotanya dari Padangsidimpuan ke Sipirok secara bertahap pada tahun 2010. Demikian disampikan Ketua Komisi A DPRD Sumut, H. M Nuh, MSp di Medan, Minggu (27/12). Menurutnya, janji tersebut disampaikan Ongku P Hasibuan dihadapan anggota Komisi A DPRD Sumut yang melakukan kunjungan kerja ke Sipirok pada 23 Desember 2009.

Mulanya, terang politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPRD Sumut ini, Ongku sempat memberikan beberapa penjelasan perihal beberapa kesulitan yang akan dihadapi jika ibukota dipindahkan ke Sipirok kepada komisi A DPRD Sumut. Namun, tidak ada anggota Komisi A DPRD Sumut yang menerima dan menyetujui alasan penundaan relokasi ibukota tersebut."Kami tetap tegas meminta agar bupati segera menjalankan UU yang sudah ditunda pelaksanaannya 10 bulan lebih," katanya. Karena, apa yang sudah ditetapkan oleh UU harus dilaksanakan. Yakni seharusnya pemindahan ibukota sudah dilaksanakan paling lambat 18 bulan
dari diterbitkannya undang-undang tersebut, yaitu pada bulan Februari 2009. Jika tidak, maka penundaan pelaksanaan pemindahan ibukota ini akan menjadi preseden buruk bagi masyarakat, melihat bahwa pemimpinnya malah tidak mematuhi UU.

Jika memang didalam pelaksanaan UU ini ada kendala atau halangan yang dihadapi, ujar H. M Nuh, M.Sp, tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mentaati dan menjalankan UU yang telah dikeluarkan pemerintah. Tapi harus dicari jalan keluar sesuai aturan yang berlaku.
"Kalau memang ada kendala, ya harus ikuti mekanisme. Jika memang perlu adanya perubahan undang-undang kan ada prosedurnya, jadi bukan berarti langsung undang-undang tersebut tidak dijalankan," katanya. Jadi, Komisi A DPRD Sumut, akan tetap mendesak agar pemindahan ibu kota segera dilakukan. Walaupun memang ada beberapa alasan mendasar yang disampaikan Bupati, namun itu hanya dijadikan pertimbangan untuk tidak memberikan sanksi kepada Bupati Tapsel terkait ditundanya pelaksanaan undang-undang selama 10 bulan.
"Mulanya Bupati malah minta penundaan sampai 2012, ini tidak bisa kami terima Karena akan jadi image yang buruk bagi masyarakat. Masak seorang pemimpin tidak taat UU," ucapnya. Sebelumnya, Komisi A DPRD Sumut juga menerima sejumlah tokoh masyarakat di Torsibohi Hotel. Masyarakat secara aklamasi menyerukan kepada bupati untuk segera mengikuti peraturan dan UU yang ditetapkan, yaitu segera memindahkan ibukota Tapsel ke Sipirok. Jika tidak mau atau belum mampu mereka mendesak bupati agar mundur dari jabatannya.
Minggu, 27/12/2009/Ukhti

Saat Reses dan Kunjungan Kerja DPRD Sumut Masih Saja Terima Uang

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara (Sumut) periode 2009-2014 belum menunjukkan kinerja ke arah yang lebih baik dibanding periode sebelumnya. Harapan besar akan adanya perubahan belum terlihat di tiga bulan masa kerja DPRD Sumut. Salah satunya terlihat dari masih adanya anggota dewan yang menerima uang saat melakukan reses atau kunjungan kerja.

Menurut anggota Komisi C DPRD Sumut, H. Hidayatullah, SE, dirinya belum merasa optimis bahwa anggota DPRD Sumut periode 2009 - 2014 akan mampu membawa perubahan lebih baik, jika dibandingkan dengan anggota dewan periode sebelumnya. Salah satu indikator yang menunjukkan belum adanya perubahan yang lebih baik itu adalah masih ada saja anggota Dewan yang mau menerima uang dari pemerintah daerah saat melakukan kunjungan kerja saat reses.

"Baik praktik yang tersurat maupun tersirat, saya belum melihat optimisme untuk melakukan perubahan lebih baik bagi dewan yang ada sekarang. Ini menjadi tantangan kita bersama," ujarnya di Medan, Minggu (27/12).

Padahal, ujar politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) ini. Setiap anggota DPRD Sumut telah diberikan dana reses yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Dana yang didasarkan pada Surat Perintah Perjalan Dinas (SPPD) juga diberikan jika DPRD Sumut melakukan kunjungan kerja mengatasnamakan komisi. Namun sayangnya, perilaku menerima uang itu masih saja terjadi, seperti anggota Dewan sebelumnya. "Itu belum hilang dan masih saja terjadi. Walau pun ada orang-orang tertentu yang tidak terima, tapi mayoritas masih. Kalau mayoritas menolak pasti sudah hilang itu," katanya.

Undang-Undang (UU) Nomor 20/2001 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya sudah jelas mengatur bahwa pemberian dalam arti luas kepada penyelenggara negara merupakan gratifikasi. Gratifikasi ini bahkan bisa terindikasi suap jika berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Sudah merupakan kewajiban bagi penyelenggara negara untuk melaporkan gratifikasi yang diterima ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Seharusnya, tidak ada alasan bagi anggota Dewan untuk menerima uang dari pemerintah daerah maupun rekan kerja saat reses maupun kunjungan kerja. Jadi, keterbatasan dana yang diberikan terutama saat reses, bukanlah pembenaran untuk menerima uang. Karena seharusnya, saat reses dilaksakana, rakyat diberi pemahaman politik yang benar sehingga tidak memandang anggota Dewan sebagai sumber uang.

Partai politik juga perlu memberi penegasan kepada kadernya di parlemen agar tidak menerima uang. Selain itu, pemerintah daerah juga diharapkan bisa memahami bahwa pemberian uang bukan salah satu jalan dalam membina hubungan baik. "Kekurangan uang yang dimiliki anggota Dewan saat reses atau kunjungan kerja bukan alasan untuk menerima uang dari pemerintah daerah," katanya.
Diakuinya, permasalahan ini memang disebabkan ada dua pihak yang sama-sama berkepentingan. Artinya, pemerintah daerah memberikan uang itu tentu bukan tanpa alasan atau motivasi, sebaliknya anggota Dewan bersedia memerima juga mendapatkan keuntungan secara materi. "Ini memang ibarat angin. Bisa dirasakan tapi tidak tidak ada wujudnya. Sehingga sulit membuktikan. Makanya, sejak awal menjabat saya mengatakan pesismis kalau masih seperti ini londisinya. Karena jika pemberian itu dijadikan alasan untuk memperjuangkan daerah, kan aspirasi yang menjadi prioritas adalah rakyat, bukan pemerintah daerah," paparnya.

Untuk itu, diharapkan adanya wacana peningkatan pendapatan pejabat yang disampaikan pemerintah pusat beberapa waktu lalu bisa menjadi momentum agar anggota dewan tidak lagi menerima pemberian uang. "Semoga peningkatan kesejahteraan ini dapat mengatasi adanya anggota dewan yang masih menerima uang saat ini," ucapnya.
Minggu, 27/12/2009/Ukhti