Tuesday, February 23, 2010

Minimnya Anggaran Sumber masalah Kesehatan Di Sumut

Walaupun telah ada Peraturan Daerah (Perda) Sumut Nomor 2/2008 tentang Sistem Kesehatan Provinsi yang menyatakan bahwa APBD provinsi maupun kabupaten/kota minimal mengalokasikan anggaran untuk kesehatan sebesar 15 persen. Namun nyatanya sumber permasalahan belum dapat teratasinya masalah kesehatan secara maksimal masih disebabkan karena minimnya jumlah anggaran yang ada.

Demikian disampaikan anggota Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumut, Timbas Tarigan, A.Md usai melakukan kunjungan kerja Komisi E DPRD Sumut ke Langkat dan Binjai pada 17 - 18 Februari, Sabtu (20/2).

Menurut Timbas Tarigan, A.Md, dari hasil laporan yang disampaikan pada saat kunjungan yang dilakukan Komisi E DPRD Sumut ke Langkat dan Binjai, terbukti bahwa minimnya jumlah anggaran masih menjadi sumber masalah yang menyebabkan pelayanan kesehatan di Sumut belum maksimal diberikan kepada masyarakat.

"Sampai sekarang, kami melihat bahwa belum ada singkronisasi antara visi-misi Gubsu untuk membuat rakyat tidak sakit dengan realisasi anggaran yang ada. Khawatirnya kalau ini tidak segera diatasai, maka visi-misi tersebut hanya sebatas ilusi saja," ujarnya.

Masalnya saja di Langkat, dengan daerah yang begitu luas. Anggaran yang dialokasikan untuk Dinas Kesehatan (Dinkes) hanya sebesar Rp 1,2 miliar pada APBD Langkat 2009, sehingga fasilitas kesehatan tidak dapat disediakan secara keseluruh di kecamatan yang ada. Padahal jarak antara satu daerah dengn daerah lainnya cukup luas.

"Malahan Rumah Sakit Umum (RSU) bukan berada di kabupaten Induk Stabat,
tapi malahan berada di Tanjung Pura," ucapnya.

Selain itu, fasilitas sumber daya manusia (SDM) maupun alat medis di RSU Tanjung Pura tersebut juga tidak memadai. Padahal telah masuk dalam kategori RSU kelas B. Misalnya saja, seperti tidak adanya dokter bedah di RSU Tanjung Pura tersebut, yang ada hanya dokter bedah yang sifatnya konsultasi (tidak tetap). Seharusnya sebagai RSU kelas B, salah satu syarat yang dimiliki adalah harus memiliki dokter bedah tetap.

"Jadi walaupun telah masuk sebagai RSU kelas B, tapi nyatanya juga belum memenuhi syarat. Ini dilaporkan karena minimnya jumlah dukungan anggaran baik dari APBD provinsi maupun kabupaten Langkat sendiri," ujarnya.

Belum lagi, dengan jumlah anggaran yang terbatas untuk kesehatan di Langkat juga berimbas pada minimnya jumlah honor yang dapat diberikan kepada tenaga medis kontrak yang ada di RSU tersebut, yaitu hanya Rp 500 ribu perbulan. "Kalau kesejahteraan mereka saja masih menyulitkan, bagaimana mereka bisa melayani pasien secar profesional," katanya.

Walaupun memang karena hanya ada satu RSU di Langkat, Dinkes mengatasinya dengan menyediakan layanan Puskesma 24 Jam. Namun karena jumlah anggaran yang minim maka jumlahnya terbatas, jadi juga tidak mampu melayani kesehatan masyarakat secara menyeluruh.

Tidak jauh berbeda, tambah Timbas Tarigan, A.Md, jumlah anggaran yang minim juga menjadi masalah untuk mengatasi persoalan kesehatan di Binjai, anggaran 2009 hanya sekitar Rp 1 miliar. Namun karena luas daerahnya yang tidak begitu luas, maka masalahnya tidak serumit di Langkat. Selain itu, RS swasta juga banyak, jadi bisa mengcover kebutuhan rumah sakit di Binjai

"Kalau di Binjai juga sangat diperlukan peningkatan kecakapan pelayanan kesehatan dan penambahan fasilitas. Ini jugakan perlu anggaran yang tidak sedikit," katanya.

Untuk itu, dengan berbagai masalah kesehatan yang ada. Maka sangat dibutuhkan perhatian yang lebih fokus dari pemerintah Kabupten/kota maupun Pemprovsu, khususnya Gubsu untuk mengatasi masalah minimnya jumlah anggaran ini. "Kita harus mampu meliht persoalan di Sumut ini secara lebih fokus, dan kami dari Komisi E juga akan terus berusaha untuk melakukan pengawasan dan perbaikan kesehatan. Terutama menyangkut jumlah alokasi anggaran di APBD Pemprovsu," paparnya.
Sabtu, 20/2/2010/Ukhti

Perhatian Pemprovsu Terhadap Rumah Sakit Haji Masih Minim

Perhatian Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) yang masih minim terhadap Rumah Sakit Haji Medan sangat disayangkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumut. Padahal sebagai rumah sakit yang bersifat yayasan tersebut, Ketua langsung dijabat oleh Gubernur Sumut (Gubsu) Syamsul Arifin secara eksopisio.

Demikian disampaikan anggota Komisi E DPRD Sumut, Bapak Timbas Tarigan, A.Md disela-sela rapat dengar pendapat antara Komisi E DPRD Sumut dengan Pengelola Rumah Sakit Haji Medan, di Gedung DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol Medan, Selasa (16/2).

Menurut Timbas Tarigan, A.Md, sebagai salah satu rumah sakit yang 70 persen lebih
melayani pasien Jamkesmas di Sumut, maka seharusnya perlu ada perhatian yang lebih besar. Khususnya dari segi anggaran. Karena selama ini, tidak ada sumber anggaran tetap yang dialokasikan untuk rumah sakit tersebut, baik yang berasal dari APBD sumut maupun sumber lainnya.

"Selama ini, pelayanan rumah sakit haji ini sudah cukup maksimal. Seharusnya Pemprovsu dan Gubsu sebagai Ketua yayasan dapat memberikan perhatian khusus, terutama soal pendanaan," ujarnya.

Selain itu, dari kondisi pelayan yang selama ini dapat dikatakan sudah baik padahal tidak ada sumber pendanaan yang tetap dan letaknya yang stategis. Seharusya dapat dijadikan peluang bagi Pemprovsu untuk menjadikan rumah sakit haji ini sebagai rumah sakit umum milik Pemprovsu.

"Sampai sekarangkan Sumut gak punya rumah sakit umum yang merupakan milik Pemprovsu. Jadi kenapa tidak Rumah Sakit Haji ini saja yang dapat dimanfaatkan secara maksimal. Karena dari empat rumah sakit haji yang ada di Indonesia, salah satunya yang di Surabaya juga telah diambil alih oleh Pemda setempat," terangnya.

Untuk itu, ujar Timbas Tarigan, A.Md. Komisi E DPRD Sumut akan segera melakukan pertemuan dengan pihak yayasan, pengelola Eumah Sakit Haji Medan, Kandepag, dan Dinas Kesehatan sumut untuk membahas masalah pendanaan ini. "Dalam waktu dekat kami akan lakukan pertemuan untuk membahas terkait anggaran ini," katanya.

Direktur Rumah Sakit Haji Medan, dr. H. MP Siregar, SKm meyatakan, sampai sekarang pihaknya belum mendapatkan sumber anggaran tetap, baik yang berasal dari APBD Sumut maupun sumber lainnya. Sehingga tidak jarang untuk memenuhi kebutuhan biaya operasional selama ini, pihak pengelola harus melakukan pinjaman. "Sumber pendanaan kami selama ini hanya berasal dari pasien saja. Baik Jamkesmas maupun umum," katanya.

Memang pada 2009 lalu, ada bantuan sebesar RP 3,8 miliar dari APBD Sumut, dan Rp 806 juta dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam bentuk peralatan. Tapi bantuan seperti itu tidak tiap tahun ada secara rutin. "Ada bantuan dari pemerintah, tapi tidak rutin," katanya.

Padahal untuk meningkatkan pelayana terhadap pasien, pihaknya sangat membutuhkan 160 tempat tidur dan bangunan kamar lagi. Karena kapasitas kamar yang berjumlah 234 yang ada saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk menerima pasien yang ada berobat ke Rumah Sakit Haji Medan. " Kami sangat butuh anggaran," ujarnya.
Selasa. 16/2/2010/Ukhti

Tuesday, February 16, 2010

DPR RI, Masalah Pasti Dibawa Ke Pusat

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dedi S Gumelar mengatakan, pihaknya sangat banyak menerima laporan masalah dari daerah. Padahal seharusnya hal itu menjadi wewenang daerah untuk menyelesaikannya karena sudah merupakan domainnya otonomi daerah, namun nyatanya juga dilaporkan ke pusat.
"Dalam konteks otonomi daerah seperti sekarang, banyak persoalan daerah yang harusnya domainnya otonomi. Namun nyatanya persolannya tetap dilempar juga ke pusat," ujarnya disela-sela menerima guru tenaga honorer yang tergabung dalam Forum Komunikasi Tenaga Honorer Sekolah Negeri (FKTHSN) Sumut dan Komisi E DPRD Sumut, di Gedung DPR RI Jakarta, Jumat (12/2).

Menurut Dedi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mi'ng ini, banyak persoalan yang terjadi di daerah yang dilaporkan ke pusat namun belum dapat terselesaikan sampai sekarang. Karena persoalan yang ada tidak hanya sebatas merupah pasat atau aturan yang ada, tapi harus dicari solusi yang memang betul-betul tepat.
"Negara ini memang sedang menghadapi persoalan yang sangat banyak. Tidak hanya soal masih banyaknya guru honor yang belum diangkat, tapi di semua bidang ada masalah. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa persoalan guru honor saat ini jumlahnya lebih banyak," ucapnya.

Lebih lanjut dikatakannya, umumnya persoalan ini disebabkan karena daerah yang memulainya. Misalnya saja seperti penerimaan CPNS dilakukan di daerah, tidak jarang dilakukan kolusi antara para penguasa di daerah dengan calon peserta CPNS. "Seperti di daerah pemilihan tempat saya di Banten. Soal kompetisi itu bisa nomor tujuh, tapi yang penting adalah siapa yang mampu menyediakan uang Rp 40 juta - Rp 50 juta," ucapnya.

Selain itu, dalam penempatan PNS di masing-masing satuan perangkat kerja daerah juga terjadi masalah. Sebab diputuskan karena adanya kedekatan, padahal tidak kompeten. Sehingga ada Kepala Dinas yang tidak miliki kompetensi tapi diangkat.
"Ini persoalan-persoalan politik di daerah yang menyebabkan masalah. Karena dengan adanya kekuasaan otonomi daerah banyak pemimpin daerah yang sesukanya mengunakan kekuasaannya, tapi begitu ada persoalan dilemparkan ke pusat," paparnya.

Senada, anggota Komisi X DPR RI, Wayan Koster juga menyatakan, karena adanya manipulasi data dari pemerintah daerah, dimana data awal tenaga honorer hanya 800 ribuan orang membengka menjadi 920 ribuan orang yang telah disertai dengan SK pengangkatan yang diberlakukan surut. Menyebabkan pengangkatan guru tenaga honorer sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) 48/2005 junto PP 43/2007 tentang sistem pengangkatan tenaga honorer yang dilakukan tanpa tes tidak dapat berjalan dengan maksimal.


"Penuntasan pengangkatan tenaga honorer sampai sekarang baru terselesaikan sekitar 800 ribuan orang, sedangkan sisanya ada sekitar 80 ribuan yang masuk data best untuk diangkat tapi ternyata tidak memenuhi syarat seperti yang tertera di PP," terangnya.
Ditambahkan Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Ganjar pranowo, banyak permasalahan yang timbul saat ini karena disebabkan birokrasi yang tidak berjalan dengan baik dan semestinya. Untuk itu, harus ada pengawasan dan reformasi birokrasi yang dilakukan di masing-masing daerah."DPRD Sumut, pulang dari sini diharapkan bisa langsung meminta format birokrasi yang ada di Pemprovsu. Jadi pengawasan juga dapat dilakukan dengan mudah. Kalau ada yang berjalan tidak sesuai dengan format, kan bisa langsung diambil tindakan," ucapnya.


Menanggapi hal ini, anggota Komisi E DPRD Sumut, Timbas Tarigan, A.Md menyatakan banyaknya daerah yang melaporkan masalah ke pusat juga disebabkan karena masih banyaknya aturan yang dibuat oleh pemerintah pusat yang tidak jelas, sehingga masih bisa dimainkan oleh pemerintah daerah. Untuk itu, seharusnya pusat juga harus betul-betul membuat aturan yang tegas."Masih banyak aturan yang dibuat pusat terdapat pasal karet, makanya bisa dimainkan. Jadi, baik pusat maupun daerah belum maksimal untuk menyelesaikan masalah yang ada," katanya.Jumat, 13/2/2010/Ukhti

Monday, February 15, 2010

2010, Tiga Seleksi Penerimaan Guru Honorer jadi PNS

Untuk menyelesaikan banyaknya jumlah tenaga guru honorer yang belum diangkat totalnya 946 orang guru secara nasional. Maka akan ada tiga jenis seleksi yang akan dilakukan untuk mengangkat tenaga honorer tersebut menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di tahun 2010 ini. Demikian disampikan anggota Komisi X DPR RI, Wayan Koster, saat menerima rombongan Komisi E DPRD Sumut, Dinas Sosial Pemerintahan Provinsi Sumut (Pemprovsu) dan Forum Komunikasi Tenaga Honorer Sekolah Negeri (FKTHSN) Sumut, di Gedung DPR RI Jakarta, Jumat (12/2).

Komisi E DPRD Sumut yang hadir yaitu Ketua Komisi Brilian Mochtar, anggota Komisi yaitu Timbas Tarigan,A.Md, Muslim Simbolon, Siti Aminah,Amp, SPdI, Arlena Manurung, dan Rahmiannah Delima Pulungan. Serta dua Staf Dinas Sisial Pemprovsu H M Hatta Siregar, Marion Ginting, dan beberapa guru honorer.

Menurut Wayan, terkait permasalahan tenaga guru honorer dan tenaga honorer secara umum, pihaknya sedang membahas kebijakan untuk menyeleesaikan permasalahan ini secara keseluruhan dengan membentuk panitai gabungan antara komisi II, VIII dan X yang bekerjasama dengan beberapa departemen yaiyu Departemen pendidikan, kesehatan, pertanian, kepegawaian dan beberapa lainnya. Dimana dari koordinasi terakhir yang dilakukan, akan ada tiga cara yang akan digunakan untuk mengangkat tenaga honorer guru menjadi PNS.
Yaitu dengan cara reguler melalui tes ujian penerimaan CPNS formasi 2010, tanpa tes sesuai dengan yang diatur dalam Perarturan Pemerintah (PP) 48/2005 junto PP 43/2007 tentang sistem pengangkatan tenaga honorer, dan seleksi yang dilakukan oleh sesama honorer.

"Berdasarkan data yang kami terima 2010 ini, totalnya ada sebanyak 946 ribu guru honorer yang harus diangkat jadi PNS. Ini belum tentu semuanya dapat diselesaikan 2010 inikan," ujarnya didampingi anggota Komisi X DPR RI Dedi S Gumelar dan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ganjar Pranowo.

Untuk yang tanpa tes (diangkat otomatis), yaitu bagi para guru tenaga honorer yang memenuhi syarat sesuai yang diatur dalam PP 48/2005 junto PP 43/2007, dimana guru honor tersebut memiliki masa kerja satu tahun pada 31 Desember 2005 yang dibuktikan dengan surat keputusan (SK) pengangkatan oleh instansi pemerintah (kepala sekolah negeri maupun dinas pendidikan), baik yang dibiayai oleh APBD maupun APBN, dan usia maksimal 48 tahun.
"Untuk latar belakang pendidikan, tidak jadi masalah," katanya.
Dimana sebenarnya untuk yang tanpa tes ini telah dilakukan pengangkatan tenaga honorer secara bertahap sejak tahun 2005. Namun karena ada manipulasi data yang dilakukan daerah, dimana data awal tenaga honorer hanya 800 ribuan orang membengka menjadi 920 ribuan orang yang telah disertai dengan SK pengangkatan yang diberlakukan surut. Sehingga penuntasan pengangkatan tenaga honorer sampai sekarang baru terselesaikan sekitar 800 ribuan orang, sedangkan sisanya ada sekitar 80 ribuan yang masuk data best untuk diangkat tapi ternyata tidak memenuhi syarat seperti yang tertera di PP, ada pemerintah daerah yang tidak mau untuk mengangkat guru tenaga honor seperti di DKI dan ada juga guru yang belum bisa diangkat karena nomor induk pegawainya (NIP) belum bisa dikeluarkan karena guru yang bersangkutan belum melengkapai syarat administrasi secara keseluruhan.

"2010 ini, guru tenaga honorer yang sudah memenuhi syarat sesuai PP ini yang diutamakan untuk diangkat yaitu ada sekitar 105 ribu orang. Baik yang sudah masuk dalam data best maupun yang masih tercecer atau belum terakomodir, yaitu bagi guru yang belum terdata karena pada saat pendataan laporan membengkak membuat pemerintah memutuskan untuk menutup laporan data best dari daerah. Sehingga ada guru honor yang tidak terdata, padahal ia sudah memenuhi syarat," ujarnya.

Untuk itu, pihaknya mengimbau para guru dapat segera mendata namanya di Dinas pendidikan terkait apakah termasuk dari 105 data best yang diterima DPR RI saat ini. "Kami anjurkan, karena bapak dan ibu guru juga ada di Jakarta. Maka baiknya juga menyampaikan data jumlah guru honor di Sumut ini ke BKN dan Departemen Kepegawaian," katanya.

Selain itu, 2010 ini juga akan ada pengangkatan guru tenaga honor menjadi PNS dengan sistem seleksi yang dilakukan oleh sesama honorer. Dimana yang diangkat tidak hanya tenaga honorer yang dibiayai APBN atau APBD, tapi diluar itu juga dapat diangkat menjadi PNS selama SK pengangkatannya menjadi honor dilakukan oleh instansi pemerintah (Kepala Sekolah maupun Dinas terkait) dan batasan masa tugas yaitu minimal harus sudah bertugas satu tahun pada 1 Januari 2006 atau 31 Desember 2005. Untuk sistem ini Panitia gabungan komisi DPR RI sedang mempersiapkan PP yang baru.

"Jadi guru honor yang diangkat oleh Dinas Pemerintah tapi diperbantukan di sekolah swasta bisa diangkat jadi PNS. Tapi kalau guru honor yang diangkat oleh sekolah swasta/yayasan dan biayanya juga oleh swasta, itu tidak bisa diangkat jadi PNS. Totalnya alokasi yang akan diterima untuk jalur ini belum dapat kami pastikan karena harus didata lagi," terangnya.

Sedangkan jika ternyata masih tetap ada guru tenaga honor yang tidak bisa diangkat berdasarkan ketiga cara diatas karena tidak memenuhi syarat, Wayan menyatakan tenaga honor tersebut akan diangkat menjadi pegawai tidak tetap dengan pendekatan kesejahteraan yaitu gaji tenaga honorer berdasarkan upah minimum regional atau memenuhi kebutuhan sehari - hari guru yang bersangkutan, dan tunjangan kesehatan.
Ketua FKTHSN Sumut, Andi Subakti menuntut agar ribuan guru honorer yang belum bisa diangkat karena terkendala PP 48/2005 junto PP 43/2007 dapat segera diangkat. Karena jika dihitung, rata-rata guru honor yang ada sebenernya telah bekerja lebih dari lima tahun.

"SK kami ada yang Januari sampai April 2005, tapi kalau berdasarkan PP itu kan seharusnya SK paling lambat Desember 2004 dan pemerintah sudah dilarang menerima tenaga honorer lagi. Namun kenyataanya kan pengangkatan honorer tetap terjadi dan kami sudah bekerja lima tahun. Makanya kami minta proses pengangkatan kami dapat juga sama dengan guru honor 2004," paparnya.

Sementara itu, Ketua Komisi E DPRD Sumut, Brilian Mocktar menyatakan banyaknya permasalahan guru honor di Sumut dan daerah lain di Indonesia ini terjadi karena Badan Kepegawaian DAerah (BKD) tidak bekerja sesuai aturan yang ada. "Ini bukti bobroknya BKD Pemprovsu yang harus kami awasi kinerjanya," ujarnya.
Selain terkait masalah guru honor, Komisi E DPRD Sumut juga mempertanyakan semakin minimnya anggaran yang bersumber dari APBN ke Sumut, khususnya untuk Dinas Kesehatan Pemprovsu yaitu 2007 Rp 108 miliar, 2008 Rp 79 miliar, dan 2009 semakin menurun menjadi Rp 48 miliar. "Padahal masalah kesehatan sangat diperioritaskan bagi Sumut. Kami juga ingin mempertanyakan ini," ujar Brilian
Terkait masalah anggaran ini, anggota DPR RI yang menerima rombongan akan menyampaikannya ke Komisi IX sebagai komisi yang membidangi anggaran.
Jumat, 12/2/2010/Ukhti

Tuesday, February 2, 2010

PT.JAYA KONTRUKSI MANGGALA PRATAMA TBK HARUS BERTANGGUNG JAWAB

Terkait peristiwa jatuhnya pekerja bangunan gedung DPRD SU (21/1) Siswo (40) asal Solo, komisi E DPRD SU bertemu PT.Jaya kontruksi,pihak Jamsostek dan Dinas Tenaga Kerja mempertanyakan dan membahas pertanggung jawaban atas peristiwa yang dialami Siswo yang ternyata tidak menerima asuransi dari Jamsostek pada Rabu(03/2)diruang komisi E gedung DPRD SU.
Anggota komisi E Ibu Siti Aminah, Amp, S.PdI mengatakan usai pertemuan tersebut bahwa pihak PT. Jaya Konstruksi harus bertanggung jawab penuh atas kecelakaan kerja yang terjadi pada pekerjanya demikian juga pihak jamsostek. pihak-pihak terkait harus menyelesaikan persoalan tersebut sesuai undang-undang yang berlaku dan rasa kemanusiaan.

Dalam pertemuan tersebut berdasarkan keterangan pihak Jamsostek terungkap bahwa PT.Jaya Kontruksi hanya mendaftarkan 35 orang yang merupakan tenaga kerja dari Medan sedangkan yang 95 orang lagi berasal dari Jawa tidak didaftarkan, sehingga Siswo harus membayar biaya perawatan di R.S Malahayati mencapai Rp.20 juta yang juga diakui oleh pihak PT.Jaya kontruksi. Dengan kondisi itu oleh pihak keluarga siswo dibawa ke solo padahal berdasarkan kondisi kesehatannya masih harus dirawat.

"PT.Jaya Kontruksi harus bertanggung jawab penuh membiayai pengobatan korban sampai sembuh" demikian ungkap siti aminah, S.PdI yang merupakan anggota fraksi PKS DPRDSU. "Kesediaan pertanggung jawaban harus dibuat dalam perjanjian tertulis dihadapan Anggota dewan DPRDSU pada hari senin tanggal 8 Feruari yang akan datang dan penandatanganannya dilakukan oleh GM dari PT.Jaya Kontruksi sekaligus menjelaskan mengenai kejadian yang sangat tragis dialami oleh tenaga kerja tersebut". tambahnya. Rabu,03/02/2010/Am/Az/Vo